Minggu, 28 Juni 2009

Visi Ekonomi para Capres


M. Ikhsan Modjo

Direktur INDEF


Debat calon presiden (capres) pada kamis malam terasa agak berbeda dari dua debat sebelumnya. Suasana yang tercipta terasa lebih cair. Para capres pun berusaha untuk saling berbeda, meski tidak secara konfrontatif. Debat kali ini bukan hanya berkutat pada topik kemiskinan dan pengangguran yang diberikan oleh KPU. Akan tetapi juga bersayap pada persoalan-persoalan ekonomi lain. Kemiskinan dan pengangguran sendiri merupakan dua hal yang selama bertahun-tahun telah menjadi isu ekonomi dan politik di Indonesia. Tentunya, mutlak bagi seorang kandidat capres untuk memiliki kiat-kiat khusus untuk mengatasi kedua permasalahan ini.


Secara umum, ketiga capres agaknya sepakat untuk memberikan prioritas lebih pada sektor pertanian ke depan. Hal ini tentu saja adalah tepat. Sekitar 65 persen keluarga miskin hidup di perdesaan, yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian. Demikian pula tidak kurang dari 40 persen pekerja berada di sektor pertanian. Sehingga pengatasan masalah kemiskinan dan pengangguran tentu saja harus memprioritaskan sektor ini.Dalam hal strategi, dua dari tiga capres --Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK)-- juga sepakat untuk menjalankan strategi yang bertumpu pada dua hal sekaligus: pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan penduduk miskin. Megawati Soekarnoputri (Mega), dari jawaban yang diberikan, lebih menekankan pada strategi tidak adanya upaya penggusuran paksa (Koran Tempo 26 Juni 2009, hal. A2). Strategi SBY dan JK juga adalah benar. Sebab dari kajian empiris tidak pernah terjadi pengurangan angka kemiskinan dalam perekonomian yang tidak tumbuh. Pengurangan kemiskinan hanya dapat terjadi bila terjadi pertumbuhan. Tetapi, pertumbuhan tidaklah cukup. Kue pertumbuhan kerap hanya dinikmati oleh segelintir kalangan, sehingga diperlukan intervensi langsung melalui pemberdayaan. Namun, SBY dan JK berbeda dalam target tingkat pertumbuhan dan langkah pemberdayaan masyarakat yang akan ditempuh. SBY mematok angka rata-rata 7 persen, sementara JK memasang angka rata-rata 8 persen. Dalam hal pemberdayaan, SBY akan terus melanjutkan berbagai program-program yang tergabung dalam program nasional pemberdayaan mandiri (PNPM mandiri) dan pemberdayaan usaha mikro (UMK). Sementara JK, selain akan meneruskan berbagai program ini, juga memberi penekanan lebih pada pemberdayaan usaha usaha kecil menengah dan mikro (UMKM) bukan hanya mikro.


Penekanan ini terlihat dari janji JK untuk melakukan sebuah program tambahan berupa Kredit MAMPU, yang dalam keterangannya merupakan kredit langsung tanpa jaminan sebesar Rp 3 sampai dengan Rp 20 juta bagi pengusaha UMKM, tanpa melalui mekanisme perbankan. Tawaran ini saya kira adalah tepat. Sebab saat ini terdapat tidak kurang dari 50 juta unit usaha UMKM di Indonesia, yang menampung sekitar 100 juta lebih angkatan kerja. Salah satu kendala berusaha mereka adalah akses pada modal. Saat ini meski terdapat banyak tawaran dari perbankan, akan tetapi terdapat syarat-syarat formal yang kerap sulit dipenuhi oleh pengusaha UMKM. Bantuan permodalan memungkinkan melakukan ekspansi usaha, dimana dengan ekspansi usaha ini dapat membuka lapangan pekerja lebih banyak. Bila saja 10 persen dari unit usaha UMKM menambah satu pekerja dalam satu tahun, maka akan tercipta lima juta lapangan tenaga kerja baru yang lebih dari cukup untuk mengatasi persoalan pengangguran dalam lima tahun ke depan.


Perbedaan krusial antar para capres juga terlihat dalam beberapa hal, antara lain dalam persoalan utang, undang undang (UU) investasi, UU ketenagakerjaan, dan tenaga kerja terdidik. Dalam hal utang, Mega dengan tegas mengatakan akan memberhentikan menambahan utang negara. Satu hal yang patut dipuji, mengingat utang dewasa ini lebih menjadi momok ketimbang kebutuhan. Sumber-sumber yang ada dari dalam negeri baik berupa pendapatan pajak atau pendapatan pemerintah dalam bentuk lain sesungguhnya masih mencukupi bila dikelola secara optimal. Sementara dengan berutang, sama saja bangsa mengadaikan sebagian kedaulatannya kepada negara lain. Sebab hampir semua utang diberikan dengan kondisi dan syarat tertentu, meski secara tidak eksplisit dicantumkan.Dalam hal utang, JK mengatakan akan tetap melakukan bila dipandang perlu, namun harus dibatasi tidak lebih dari 1,3 persen dari pengeluaran. Sementara SBY dengan penuh percaya diri mengatakan akan tetap melanjutkan utang, karena menganggap penambahan utang adalah hal biasa dan dimungkinkan bila pada saat yang sama terjadi pertumbuhan.


Pada UU Investasi, lagi-lagi Mega berbeda dengan SBY dan JK. Mega dengan tegas mengatakan akan merevisi UU ini, karena menganggapnya terlalu liberal. Sementara, SBY dan JK akan tetap melanjutkan, akan tetapi menyempurnakannya dengan berbagai peraturan tambahan. Pada konteks ini, SBY dan JK adalah benar. Sebab liberal atau tidaknya UU ini sangat tergantung pada aturan pelengkapnya berupa peraturan pemerintah (PP) tentang daftar negatif investasi, yang biasanya diperbaharui setiap tahun.Dalam hal UU investasi JK juga menekankan pentingnya revisi UU tenaga kerja, yang membawa kita pada titik perbedaan yang lain. Di sini , JK dan Mega memiliki pandangan yang sama tentang perlunya revisi UU ketenakerjaan. Sementara, SBY memandang tidak perlu ada perubahan. Akan tetapi cukup mengoptimalkan mekanisme bipartit yang telah ada saat ini. JK dan Mega adalah tepat pada masalah ini. Dalam bahasa JK, UU tenaga kerja saat ini tidak disukai baik oleh buruh maupun pengusaha. Para buruh tidak menyukainya karena longgarnya pengaturan tentang outsourcing di dalamnya.


Sementara pengusaha memberatkan UU ini karena terdapat aturan tentang pesangon yang sangat memberatkan pekerja ketika perlu dilakukan satu pemutusan hubungan kerja pekerja tetap. Jalan keluar yang masuk akal tentu saja adalah merevisi UU ini dengan melibatkan kelompok buruh dan pengusaha. Revisi nantinya haruslah menetapkan aturan yang lebih ketat berupa perlindungan dan hak-hak lebih pada buruh outsourcing. Pada saat yang sama, revisi juga harus mengurangi beban berlebihan yang dipundakkan pada pengusaha dalam hal pesangon. Tanpa adanya revisi pada kedua poin ini, ketidakpuasan kedua belah pihak selama ini akan terus berlanjut, sehingga dampak buruknya akan terus dirasakan pada perekonomian.


Salah satu dampak buruk yang juga merupakan titik perbedaan lain dari para capres adalah dalam hal pengangguran terdidik. Persamaannya hanya pada pentingnya pemberian ketrampian wirausaha. Mega menambahkan perlunya insentif lebih tinggi, sementara SBY dan JK menginginkan adanya perbanyakan pendidikan kejuruan dan pembukaan balai ketrampilan.Baik pendidikan wirausaha atau peningkatan ketrampilan tidak cukup mengatasi masalah tenaga kerja terdidik, yang dewasa ini sudah mencapai hampir satu juta orang. Peningkatan pengangguran terdidik salah satunya disebabkan beratnya aturan pesangon dan ketentuan upah minimum pada UU ketenagakerjaan. Dua hal ini menyebabkan dunia usaha lebih menyukai merekrut angkatan kerja secara kontrak ketimbang tetap. Ketentuan ini juga merugikan pekerja-pekerja yang minim pengalaman, seperti misalnya tenaga kerja yang baru saja lulus akademi atau kuliah (SMERU, 2001). Sehingga selain pendidikan kewirausahaan dan ketrampilan juga diperlukan revisi atas aturan ini, sebagaimana yang diyakini JK dan Mega.


Begitulah persamaan dan perbedaan visi dan program dari ketiga capres. Substansi penjabaran dari masing-masing kandidat setidaknya telah memberikan gambaran yang lebih jelas tentang strategi dan arah kebijakan mereka. Selebihnya, rakyatlah yang menentukan pilihannya.


Selasa, 23 Juni 2009

Kesehatan dan Aspek Kesejahteraan Sosial

Oleh : Sani Rachman S

Berbicara mengenai kesehatan akan berbicara mengenai permasalahan yang komprehensif. Mulai dari aspek ekonomi, politik, dan tentunya aspek kesejahteran sosial. Jangkauan berbagai bidang tersebut membuat mahalnya harga sebuah kata, sehat. Dalam sistem globalisasi seperti dewasa ini, kesehatan Indonesia masih harus merangkak setahap demi setahap untuk mencari eksistensi yang sesungguhnya. Bukan tidak mungkin, jika Indonesia tidak memiliki sistem kesehatan yang kokoh, globalisasi akan menyeret Indonesia ke dalam kesakitan. Seperti dengan bidang-bidang lain kehidupan, ketidaksiapan dalam menghadapi arus globalisasi akan membuat jurang pemisah yang sangat dalam antara Indonesia dengan negara-negara dunia ketiga lainnya.

Kesehatan Indonesia masih mencari bentuk yang ideal dalam memberikan pelayanan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam suku dan budaya disatu sisi sangat menyulitkan untuk dapat mengakses daerah-daerah terpencil di pedalaman Indonesia. Padahal disatu sisi diperlukan sistem kesehatan yang merata untuk dapat memenuhi kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini sentralisasi kesehatan hanya berpusat pada daerah jawa dan sekitarnya, dimana dengan segala kelengkapan alat dan sistem yang ada segala kebutuhan kesehatan dapat terpenuhi secara menyeluruh. Bagaimana dengan daerah perifer yang dengan segala kekurangan yang ada, baik dari segi sumber daya tenaga kesehatan sampai kelengkapan alat dan bahan yang tersedia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat secara komprehensif. Jadi jangan dipertanyakan apakah implementasi UU Praktek Kedoktera sudah sesuai dengan standar pelayanan yang ada atau bahkan belum. Jika UU tersebut diimplementasikan didaerah perifer bukan tidak mungkin ada ratusan atau bahkan ribuan rakyat yang mati sia-sia.

Sistem kesehatan itulah yang sangat mengekang rakyat untuk dapat mendapatkan pelayanan yang prima dalam bidang kesehatan. Mahalnya harga sehat terkadang harus dibayar dengan harga yang setimpal untuk dapat mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan sosial. Sistem kesehatan Indonesia perlu introspeksi diri terhadap segala macam kebijakan yang mengekang rakyat untuk dapat bebas memilih dan menentukan pelayanan yang prima. Satu langkah sudah dapat dicapai oleh pemerintah saat ini yaitu sistem Jamkesmas yang bak dewa penolong bagi rakyat untuk dapat memberikan kesehatan yang gratis bagi masyarakat luas. Suatu terobosan yang sangat populis yang mampu mengakomodir kepentingan bersama. Dalam sistem ini aspek kesejahteraan sosial dari segi pembiayaan kesehatan sudah dapat tercapai karena kepentingan rakyat golongan menengah ke bawah dapat diletakkan dalam top perform sistem kesehatan. Akan tetapi permasalahan yang lain muncul sedikit demi sedikit yang jika tidak diatasi akan menumpuk dan menimbulkan masalah sosial yang baru.

Sinergis dengan sistem Jamkesmas, program yang terlebih dahulu muncul adalah program Desa Sehat. Desa sehat merupakan program pemerintah untuk mendukung visi Indonesia Sehat 2010. Seperti mimpi disiang hari, fajar 2010 sudah kurang dari tujuh bulan lagi, namun implementasi program ini jauh dari target yang dicapai. Dengan sisa waktu yang ada seakan-akan program ini menjadi mubazir karena tentunya dalam implementasi memerlukan anggaran dana yang tidak sedikit. Hasil evaluasi program ini sudah tidak applicable untuk dapat menuju output yang diharapakan. Akan tetapi program ini bukan kemudian cacat tanpa dapat diperbaiki, hanya saja yang diperlukan adalah mengoptimalkan sisa waktu yang ada untuk dapat mencapai target minimal yang dapat dicapai.

Program Jamkesmas dan program Desa sehat merupakan sinergisitas program yang sesuai dengan semangat UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika menilik semangat UUD 1945 jelas sudah tampak kesejahteraan sosial ditempatkan sebagai parameter akhir pembangunan Indonesia. Pun demikian dengan kesehatan, premabule UUD 1945 secara eksplisit menjelaskan keadilan social sebagai parameter kesejahteraan social dan kesehatan bangsa. Semangat itu yang tidak dihayati oleh segenap rakyat bangsa Indonesia khususnya oleh elit politik bangsa yang saling sikut untuk berebut kekuasaan.

Kembali ke konsep Desa sehat yang bersinergi dengan Jamkesmas, Dengan sisa waktu yang ada optimalisasi dan komitemen bersama aparat kesehatan dan rakyat sangat diperlukan agar konsep yang nyaris expired ini dapat massif dari segi proses dan hasil walaupun untuk mencapainya perlu kerja keras semua pihak. Menilik konsep Desa sehat tersebut diperlukan sarana dan prasarana yang titik tekan kegaiatan ini adalah pemberdayaan masyarakat. Sarana dan prasarana yang diperlukan bukan fasilitas yang mewah beserta dengan alat-alat canggih yang harus ada. Akan tetapi pemberdayaan masyarakat dengan forum-forum kesehatan desa, yang mana dari kegiatan tersebut diharapkan dapat menjadi penapis permaslahan kesehatan di tingkat desa.

Infrastruktur yang wajib ada dan perlu ditingkatkan eksistensinya seperti PKD (Poliklinik Kesehatan Desa), Polindes (Pos Bersalin Desa), Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan berbagai macam infrastrutur sederhana lainnnya. Proses penapisan penyakit dan screening sederhana untuk dapat menunjang program yang sudah ada menjadi sangat efektif jika melibatkan peran serta masyarakat secara global. Hal yang sederhana namun substansi kegiatan menuju pada sasaran yang ada.

Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan sendiri merupakan hal yang sangat mahal. Akan tetapi hal ini bisa menjadi murah jika masyarakat memahami makna sehat itu sendiri. Konsep yang sederhana dimulai dari modifikasi gaya hidup dan perilaku, kebersihan lingkungan, akses pelayanan kesehatan dan sebagainya. Oleh karena itu peran desa siaga sebagai salah satu aspek kesejahteraan socsal rakyat perlu di masifkan implementasinya dari akar rumput sampai tataran elit. Dengan hal itu, wujud kesejahteraan social bukan hanya angan tapi menjadi nyata adanya.

Momentum pilpres 2009 kita gunakan sebagai momentum awal menuju kesehatan bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Dengan semangat kesehatan bangsa, sudah saatnya konsep kesehatan kerakyatan menjadi tema sentral pada pilpres 2009. Karena tema sentral yang dianut oleh para capres adalah seputar ekonomi kerakyatan. Indonesia perlu terus dan terus memperbaiki diri menuju kedewasaan dan kemandirian dalam berfikir dan bertindak untuk menuju kesejahteraan dan kecerdasan bangsa. Sudah saatnya adagium yang berbunyi health is not everything but without health everything is nothing menjadi aktualiasi diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sumber : www.rachman-soleman.blogspot.com


Resensi Buku : 100 tahun Muhammad Natsir

Rangkaian peringatan 100 tahun Mohammad Natsir telah usai, dipuncaki dengan peluncuran buku dan situs internet tokoh ini pada Rabu (17/9) petang lalu.

Salah satu buku itu adalah 100 Tahun Mohammad Natsir-Berdamai dengan Sejarah yang berisi 38 tulisan kenangan dari berbagai tokoh. Sementara buku lainnya adalah Capita Selecta 3 yang berisi tulisan dan pidato Natsir dari tahun 1956 dan 1960. (Catatan: Capita Selecta 1 memuat tulisan Natsir dalam rentang 1936-1941, berisi pemikiran tentang kebudayaan, filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan, dan politik, sedangkan Capita Selecta 2 memuat tulisan, pidato, dan wawancara Natsir dari tahun 1950-1955. Di dalam buku kedua inilah terdapat pidato monumental Natsir yang dikenal dengan sebutan ”Mosi Integral Natsir”.)

Dalam acara yang dihadiri oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan sekitar 400 undangan, sosok Natsir seolah kembali ke dalam ruangan, dengan kenangan akan ketokohannya, kejujurannya, dan keteguhannya terhadap prinsip.

Natsir memang tokoh yang pantas dikagumi. Dari berbagai sisi yang bisa digali dari tokoh ini, dari buku Berdamai dengan Sejarah ingin dicuplikkan dua kenangan yang menggugah.

Penampilan di AMS

Setelah menyelesaikan pendidikan MULO (setingkat SMP) di Padang, Natsir melanjutkan ke sekolah menengah atas di AMS (Algemene Middelbar School) A-II Westers Klassieke Afdeling di Bandung. Di sini pula, menurut catatan Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir belajar dari 1926- 1929. Di sekolah ini, selain harus belajar empat bahasa—Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman— siswa juga harus mempelajari bahasa Latin sehingga pelajar sekolah itu disebut juga Latinist.

Natsir, seperti ditulis oleh Taufiq Ismail, adalah pembaca buku yang sangat tekun, dengan disiplin luar biasa, menyelesaikan satu buku dalam seminggu. Toh, masih ada seorang guru Belanda yang mengejeknya karena dalam percakapan Natsir kurang lancar. Natsir jengkel dan belajar mati-matian sampai akhirnya ia ingin membuktikan diri dalam satu lomba deklamasi. Yang ia baca adalah syair Multatuli berjudul De Banjir. Ia mendapat tepuk tangan riuh dan meraih juara pertama. Guru Belanda tadi juga ikut tepuk tangan meskipun dengan lambat dan enggan.

Di kelas V (setara dengan kelas II SMA kini), Natsir bertemu lagi dengan guru Belanda tadi yang kini mengajar Ilmu Bumi Ekonomi. Guru yang sinis terhadap gerakan politik kebangsaan ini menantang murid, siapa yang berani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Ternyata yang berani angkat tangan hanya Natsir, yang lalu diberi waktu dua minggu untuk menuliskannya.

Natsir lalu ke perpustakaan Gedung Sate, mencari notulen perdebatan di Volksraad, menggali majalah kaum pergerakan, dan mengumpulkan statistik. Setelah jadi makalah, Natsir membacakannya di kelas selama 40 menit. Natsir membuktikan, rakyat tidak mendapatkan keuntungan dari pabrik gula, dan yang untung adalah kapitalis Belanda serta para bupati yang menekan rakyat untuk menyewakan tanah mereka dengan harga rendah, menjadikan mereka buruh dengan upah rendah, dan membuat mereka terjerat utang. Kelas sunyi senyap saat Natsir remaja membacakan makalahnya. Wajah guru Belanda tadi pun suram, tak menyangka ada murid kelas V AMS bisa membuat analisa semacam itu dalam bahasa Belanda yang rapi.

Mosi integral

Disinggung oleh berbagai penulis di buku Berdamai dengan Sejarah, mosi integral Natsir dikemas khusus dalam buku kecil yang dibagikan di sela-sela acara petang itu. Dalam buku kecil Mosi Integral Natsir: Dari RIS ke NKRI", Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Natsir, Laode M Kamaluddin, memberikan catatan ringkas atas mosi ini.

Mosi integral dengan tokoh utamanya Natsir, ia nilai sebagai prestasi gemilang dan monumental yang pernah dicapai oleh parlemen Indonesia. Natsir, tulis Kamaluddin, mampu menyatukan kembali Indonesia yang terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal buatan Van Mook menjadi NKRI yang kita kenal sekarang ini.

Mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949. Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak dimasukkan ke dalam RIS.

Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir. Selain itu, kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya—maksudnya RI—asal jangan disuruh bubar sendiri.

Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah- daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata ”Mosi Integral” dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

Kisah lain

Tentu belum cukup mengungkapkan sumbangan Natsir hanya melalui uraian di atas. Masih bisa diceritakan kaitan Natsir dengan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi antara 1956 dan 1958. Staf Ahli Mensesneg Dadan Wildan Annas menyebut ”keterlibatan” dalam peristiwa itulah yang masih mengganjal perjalanan sejarah Natsir untuk diakui sebagai pahlawan nasional.

Namun, di luar itu, tokoh seperti Natsir telah memberikan sumbangan berharga kepada perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Tokoh itu, menurut Rosihan Anwar, mempunyai sifat tabiat sendiri dengan keunikannya. Namun, ia adalah putra Indonesia yang patut kita kenang sepanjang masa dan kita hormati dengan segala khidmat.

Oleh : Ninok Leksono

Sumber :www.cetak.kompas.com

Neoliberalisme

Oleh : Revrisond Baswir

NEOLIBERALISME. Tiba-tiba saja mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya adalah munculnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang akan datang. Menurut para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono seorang ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu ia sangat berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia.

Tulisan ini tidak bermaksud mengupas Boediono atau paham ekonomi yang dianutnya. Tujuan tulisan ini adalah untuk menguraikan pengertian, asal mula, dan perkembangan neoliberalisme secara singkat. Saya berharap, dengan memahami neoliberalisme secara benar, silang pendapat yang berkaitan dengan paham ekonomi ini dapat dihindarkan dari debat kusir. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas mengimani neoliberalisme, tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa dirinya bukan seorang neoliberalis.

Sesuai dengan namannya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.

Sebagaimana diketahui, dalam paham ekonomi pasar liberal, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama sekali. Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar pada tahun 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi besar 1930-an tidak hanya ditandai oleh terjadinya kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya Perang Dunia II.

Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan Simon.

Sebagaimana dikemas dalam paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961). Tetapi dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS) pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.

Sebagaimana diketahui, dalam konsep negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan: ”Selama masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara dalam perekonomian tetap dibenarkan.”

Namun kedigdayaan keynesianisme tidak bertahan lama. Pada awal 1970-an, menyusul terpilihnya Reagen sebagai presiden AS dan Tatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Di Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.

Selanjutnya, terkait dengan negara-negara sedang berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.

Menyimak uraian tersebut, secara singkat dapat disimpulkan, sebagai bentuk baru liberalisme, neoliberalisme pada dasarnya tetap sangat memuliakan mekanisme pasar. Campur tangan negara, walau pun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar. Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme. Wallahua’lambishawab.

Lapar Karena Bodoh, Bodoh Karena Lapar

Oleh : dr.Sunarto, M.Kes

Kalimat diatas tengah menjadi anekdot di masyarakat terkait semakin mahalnya biaya pendidikan dan isu kasus gizi buruk yang semakin meluas. Dapat dibayangkan, bagi penduduk yang cukup mampu saja mengeluh, harus mengeluarkan rata-rata lima juta rupiah untuk bisa bersekolah ke jenjang SMA negeri. Kini terpaksa menjual motor atau sapi ternaknya untuk memenuhi pungutan sekolah. Secara rasional, bagi keluarga yang berpendapatan sekitar standar UMR misalnya tujuh ratus ribu rupiah perbulan, sungguh agak ngeri dibayangkan. Di awal Penerimaan Siswa Baru (PSB) harus membayar sebesar dua juta maka keluarga ini terpaksa puasa dua bulan setengah. Pengeluaran biaya pendidikan yang terus meninggi harus diiringi pengurangan mengkonsumsi gizi yang cukup. Peluang untuk cerdas dan produktif juga harus dikorbankan.

Akses memperoleh pendidikan dihambat karena biaya sekolah dasar-menengah yang semakin tak terjangkau. Sementara animo masyarakat biasa semakin mengecil untuk bisa belajar ke perguruan tinggi favorit di tanah air. Mereka hanya cukup mimpi untuk mengenyam ke pendidikan tinggi seperti UI, UGM, ITB, IPB, UNAIR, dsb. Opini publik telah terlanjur mendewakan pernyataan bahwa pendidikan bermutu membutuhkan biaya mahal. Keadaan ini telah meruntuhkan keberanian mental masyarakat miskin untuk memperoleh hak yang sama. Orang miskin semakin sulit untuk menjadi pandai dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pendidikan dan kesehatan merupakan hak asasi setiap warga negara. Pelayanan dasar seharusnya mendapat perhatian utama dari negara. Komitmen ini awalnya tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang kita miliki. Anggaran minimal 20% untuk bidang pendidikan sudah tak berarti setelah Keputusan Mahkamah Konstitusi, karena aspek gaji tenaga pendidikan termasuk didalamnya. Sulit rasanya implementasi alokasi anggaran dapat mengurangi beban warga negara dalam aksesabilitas pendidikan. Sementara Keputusan MPR RI untuk mengejar anggaran minimal 15 % untuk bidang kesehatan masih dalam batas keinginan. Yang ditemukan adalah kenyataan sebaliknya..

Kini, sistem penyelenggaraan bidang pendidikan dan kesehatan terimbas oleh pengaruh global yang cenderung berorientasi ekonomis dan kapitalistis. Problem biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin tinggi, sering dihubungkan dengan mutu dan kemampuan membayar masyarakat. Pendidikan dan kesehatan semakin menjadi komoditi oleh para penyelenggara pelayanan. Ada kecenderungan pengingkaran terhadap filosofi awal penyelenggaraan kedua pelayanan dasar, yang seharusnya bernilai sosial. Kini istilah Jawa ”ana rega ana rupa” (ada harga ada rupa) sudah masuk dalam wacana dunia pelayanan pendidikan dan kesehatan. Semboyan ini berbau individualis, karena tidak memberikan masyarakat kurang mampu mendapatkan akses pelayanan yang sama. Asas keadilan dan pemerataan hanya dimaknai sepihak oleh penyedia pelayanan.

Jika masyarakat semakin sulit mengakses fasilitas pendidikan artinya mereka mengalami “pembodohan”. Kecenderungan pengurangan peran pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan, masyarakat harus menanggung beban anggaran sekolah dan PTN. Ini menjadi tidak rasional ketika masyarakat sedang berjuang menghadapi kenaikan harga sembako, disisi lain berpikir membayar sekolah anaknya yang terasa mahal. Otonomi sekolah dipraktekkan sebagai kebebasan pengelolaan anggaran, yang berarti penarikan pungutan biaya sekolah kepada masyarakat secara bebas pula. Kecenderungan ini menjadi semakin tidak terkendali, masing-masing sekolah mempunyai target dan mimpi yang berbeda. Belum ada rambu-rambu standarisasi pengelolaam keuangan yang jelas. Target sekolah yang berlebihan, sehingga membebani orang tua siswa.

Komersialisasi pelayanan kesehatan tengah berkembang sedemikian hebat seakan menjadi kewajaran. Kecenderungan Pemberi Pelayanan Kesehatan berorintasi keuntungan. Beberapa rumah sakit secara terang-terangan berbentuk PT. Di sisi lain masih terjadi problem asimetri informasi-komunikasi antara penyedia layanan dengan pasien. Penyedia layanan pada posisi pengendali pada “transakasi” jual beli pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan sangat menentukan demand (permintaan), karena pasien kurang mengetahui wilayah profesi kesehatan. Pada kenyataannya sering didapatkan biaya pengobatan yang berlebihan dan semakin mahal. Akibatnya setelah melakukan pengobatan di layanan kesehatan, keluarga pasien semakin menurun kemampuan ekonominya. Mestinya orang sakit pergi ke penyedia layanan kesehatan agar sehat dan semakin produktif. Penyelenggaaraan layanan kesehatan akan menambah beban baru, orang miskin menjadi bertambah karena biaya yang terlampau tinggi. Secara keseluruhan pelaksanaan penjaminan kesehatan bagi penduduk miskin belum terasa efektif.

Akibat problem kesulitan mengakses kedua pelayanan tsb, kita sulit memutus lingkaran setan yang seakan tanpa ujung. Dampak pada titik terbawah masyarakat mengalami kebodohan dan kelaparan yang tidak berkesudahan. Kasus gizi buruk memang tidak semata-mata karena kemiskinan, bisa karena kasus infeksi atau penyakit lain yang menyertainya. Namun jika diruntut tentu berakhir pada perilaku, sikap dan pengetahuan yang kurang sesuai. Keadaan ini merupakan ekses dari layanan pendidikan yang sulit dijangkau. Pendidikan masih menjadi satu-satunya peluang bagi masyarakat miskin untuk meraih mobilitas vertikal.

Situasi ekonomi liberal seperti sekarang, sulit bagi mereka untuk mampu bersaing dalam perdagangan maupun menekuni pertanian. Faktor permodalan, ketrampilan maupun pengetahuan yang tidak cukup, menjadi kendala keluar dari persoalan hidup sehari-hari. Disisi lain, kenaikan harga sembako yang terus melambung semakin mengurangi kemampuan membeli. Intak gizi yang cukup membutuhkan biaya. Kesehatan merupakan modal seseorang untuk tetap survive dan produktif. Gizi buruk mengancam kualitas manusia Indonesia di masa mendatang. Pemerintah harus legawa untuk mengakui kelemahan yang ada, tidak perlu defensif dan apologi. Kita semua melihat, bagaimana kinerja pemerintahan selama ini. Problem kemiskinan, gizi buruk, kebodohan sesungguhnya telah berjalan lama. Kita tidak perlu menyalahkan dan meratapi keadaan. Adalah keharusan bagi negara untuk memenuhi hak warga negara agar tetap terpeliharan kesehatannya dan mengenyam pendidikan secara memadai. Jalan yang harus ditempuh pemerintah sekarang adalah segera memenuhi tuntutan rakyat dan mengevaluasi kembali segala program pengentasan kemiskinan. Alokasi anggaran pemerintah yang melebihi 60 trilyun pertahun merupakan jumlah yang luar biasa besarnya. Mengapa upaya pengentasan kemiskinan dari waktu ke waktu belum dirasakan secara nyata dan signifikan oleh masyarakat. Mampukah kabinet SBY-JK menunjukkan perubahan kinerjanya agar rakyat tetap mau memilih kembali pada Pemilu 2009 ? Wallahu’alam.

Kamis, 19 Februari 2009

Era Baru Amerika Serikat dan Asia

Setengah abad lalu, Asia membeku dalam perang dingin, hancur dalam kemiskinan, Beberapa negara didera konflik, rezim militer, dan keputusasaan. Namun hari ini, negara-negara yang akan saya kunjungi hidup damai. Asia kini menjadi tonggak inovasi dan tren dunia.

Asia memberi sumbangan pada kebudayaan dan kekuatan ekonomi global. Asia merupakan wilayah yang penting bagi masa depan Amerika Serikat.

Selama 30 tahun terakhir, saya memiliki kesempatan mengunjungi beberapa negara Asia. Ketika saya mengenang Asia, imaji berkelebatan dalam kepala seperti cuplikan film. Saya menyaksikan kuil-kuil anggun di Kyoto, kehidupan nomaden di luar Ulan Bator, pasar tradisional di Hanoi, Hongkong, dan Dhaka; pakaian bersejarah di Seoul, tarian rakyat di Jakarta, dan petikan sitar di New Delhi.

Saya juga menyaksikan gedung-gedung pencakar langit dan pabrik-pabrik, kampus berteknologi tinggi, fasilitas penelitian dan rumah sakit modern, tempat lahirnya penemuan-penemuan dan kewirausahaan yang menjadikan Asia sebuah kekuatan ekonomi besar di dunia. Asia juga adalah benua yang sedang belajar menerapkan hukum dan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari.

Asia telah mempengaruhi kebudayaan dunia selama ribuan tahun, termasuk kebudayaan Amerika. Amerika merupakan rumah bagi 13 juta warga Amerika-Asia. Sastra dan seni rupa, musik dan film, kuliner dan arsitektur, ilmu pengetahuan dan kesehatan, teknologi dan nilai-nilai Asia telah memperkaya keseharian Amerika.

Saat ini, banyak ancaman yang dapat mengganggu hubungan Asia dengan Amerika namun kami memilih menjadikan hubungan Asia-Amerika sebagai kesempatan untuk membangun kerja sama yang dinamis dan produktif untuk menghadapi tantangan abad baru ini.

Amerika Serikat berkomitmen mengembangkan hubungan diplomasi dan pembangunan era baru. Kami akan menggunakan pendekatan cerdas untuk bekerja sama dengan rekan-rekan yang sudah ada dan negara-negara berkembang untuk memperoleh solusi global dan regional dalam menghadapi masalah-masalah global.

Sendirian, Amerika tidak dapat menyelesaikan permasalahan dunia. Dunia juga tidak dapat menyelesaikan masalahnya tanpa dukungan Amerika.
Selama beberapa bulan mendatang, saya akan mempererat hubungan bilateral, regional, dan internasional. Saya akan menemui pemimpin-pemimpin Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika. Pekan depan saya akan berdiskusi dengan pada pemimpin Asia di Tokyo, Jakarta, Seoul, dan Beijing.

Saya berharap perjalanan dinas pertama saya sebagai menteri luar negeri Amerika Serikat memberikan isyarat bahwa Amerika membutuhkan rekan di kawasan Pasifik, seperti Amerika perlu partner di Atlantik. Kita semua merupakan kekuatan trans-pasifik dan kekuatan trans-atlantik.

Hubungan Amerika dengan negara-negara yang saya kunjungi, dan dengan seluruh rekan dan sekutu di Asia Pasifik, tidak hanya ditujukan bagi keamanan dan kemakmuran Amerika saja.

Batas wilayah negara atau lautan tidak menghentikan ancaman global seperti ketidakstabilan ekonomi dan finansial, terorisme dan senjata pembunuh massal, ketahanan pangan dan kesehatan, perubahan iklim dan kesediaan energi, serta kejahatan lintas negara dan eksploitasi manusia.

Wabah penyakit menyerang pelajar Jakarta dan Jacksonville. Krisis finansial global meruntuhkan bank-bank di Sapporo dan San Fransisko. Pengembangan nuklir mengancam Guangzhou dan Washington.

Petani provinsi Hunan di China terkena dampak pemanasan global seperti petani di Amerika bagian Barat. Semua bahaya itu mengancam kita sehingga kita harus bersatu menghadapinya.

***

Saya mengunjungi Asia untuk mengirimkan pesan bahwa Amerika menginginkan komitmen dan persetujuan yang lebih tegas dan berkesinambungan. Amerika siap bekerja sama dengan pemimpin Asia untuk menangani krisis ekonomi global yang mendera Pasifik.

Amerika mau memperkuat hubungan yang sudah ada. Amerika mau mencegah pengembangan nuklir di Asia, dan bersedia mengembangkan upaya-upaya menangani tantangan abad ke-21 seperti perubahan iklim dan energi bersih, wabah penyakit, dan kesetaraan pendapatan.

Di bawah pemerintahan Obama, kami bersedia menjalin hubungan dengan masyarakat di luar pemerintahan resmi. Kami siap merangkul masyarakat sipil untuk memperkuat pondasi bagi pemerintahan yang lebih baik, kebebasan memilih dalam pemilihan umum, kebebasan pers, kesempatan memperoleh pendidikan bagi semua orang, sistem pelayanan kesehatan terpadu, toleransi umat beragama, dan hak asasi manusia (HAM).

Amerika juga siap menjadi pendengar. Ini bukan hanya cara menunjukkan hormat namun juga merupakan sumber ide bagi upaya kita bersama. Pemerintahan kami sudah terlalu sering bertindak tanpa mempertimbangkan fakta dan bukti yang ada atau mendengar pendapat pihak lain.

Tapi saya dan Presiden Obama berkomitmen pada kebijakan luar negeri yang tidak impulsif atau pun ideologis, namun kebijakan yang menghargai pendapat pihak lain. Jika terdapat perbedaan, yang pasti terjadi, kami akan mendiskusikan dan menjelaskan hal-hal yang membatasi kemampuan kami untuk bekerja sama.

Kami akan menahan diri dan menghargai semuanya dalam upaya mempertahankan HAM dan menciptakan dunia yang menghormati HAM, dunia yang memperbolehkan pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi hidup bebas di negaranya, dunia yang membuka jalan bagi warga Korea Utara memilih pemimpinnya, dan dunia di mana warga Tibet dan China hidup harmonis di tengah perbedaan agama.

Kami percaya masalah-masalah yang muncul sekarang adalah kesempatan. Pemahaman yang realistis mengenai dunia tempat kita tinggal merupakan langkah awal penerapan kekuatan cerdas. Hal ini mendorong kami untuk berkontribusi menyelesaikan masalah-masalah internasional.

Saya akan membahas masalah krisis finansial yang menghantam kita semua. Di seluruh Amerika, warga kehilangan pekerjaan, rumah, tabungan, dan mimpi. Tapi ini bukan krisis Amerika sendiri. Dampaknya juga terasa di Asia dan seluruh dunia.

Krisis finansial global menuntut setiap negara mencari solusi di dalam negeri, namun upaya introspektif saja tidak cukup. Kemitraan internasional berperan utama dalam menstabilkan ekonomi dunia dan mengembalikan dunia pada kesejahteraan. Kita semua harus menjaga sistem pasar bebas yang adil.

Pemerintah Amerika terus bekerja menangani krisis perumahan dan menstabilkan sistem perbankan. Kongres diharapkan meloloskan paket stimulus ekonomi yang merupakan upaya terbesar pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan.

China, Australia, dan negara-negara Asia juga melakukan hal serupa. Kita membutuhkan gabungan banyak stimulus untuk mengembalikan pertumbuhan global.

Selain krisis finansial, isu-isu lain juga membutuhkan pendekatan bilateral, regional, dan internasional. Amerika ingin terus berpijak pada persekutuan dengan negara-negara Asia untuk melawan ancaman-ancaman global.

Saya sangat puas dengan kesediaan Jepang dan Korea Selatan untuk bergabung melakukan upaya rekonstruksi di Afghanistan, dan dengan kesediaan dua negara itu untuk terus bekerja sama dengan Amerika mempertahankan keamanan internasional, terutama dalam memberantas pembajakan di teluk Afrika.

Kita perlu bergabung menghadapi tantangan stabilitas di Asia Timur Laut, yaitu program nuklir Korea Utara. Pemerintahan Obama berkomitmen membicarakan masalah itu dalam pembicaraan enam pihak, dan saya akan berdiskusi dengan Korea Selatan, Jepang, dan China untuk kembali bernegosiasi dengan Korea Utara.
Namun pemerintah Korea Utara harus mau menghentikan basa-basi dan aksi provokatif terhadap Korea Selatan. Pemerintah Korea Utara telah berjanji untuk kembali pada perjanjian penghentian program senjata nuklir. Kami berpegang pada komitmen ini.

Jika Korea Utara sungguh-sungguh, pemerintahan Obama bersedia memperbaiki hubungan bilateral dan mengganti perjanjian gencatan senjata jangka panjang yang sudah ada dengan perjanjian perdamaian permanen. Amerika juga berjanji mendampingi Korea Utara memenuhi kebutuhan energi dan ekonominya.

Dalam hal ini, saya yakinkan sekutu kami di Jepang bahwa kami tidak akan melupakan keluarga dari warga Jepang yang ditangkap Korea Utara. Saya akan menemui beberapa keluarga korban di Tokyo, pekan depan.

Solusi global merupakan pokok pemecahan masalah perubahan iklim dan mencukupi kebutuhan energi bersih. Perubahan iklim bukan hanya masalah lingkungan atau energi, tapi juga berefek pada kesehatan, ekonomi, dan pertahanan kita. Pertemuan-pertemuan antara saya dan presiden Obama dengan utusan khusus Amerika bagi perubahan iklim menunjukkan keseriusan kami menangani masalah ini. Saya mengajak utusan khusus Todd Envoy bersama saya ke Asia untuk memulai diskusi sebagai awal arah kerja sama.

Amerika merupakan penghasil gas efek rumah kaca terbesar sehingga kami harus memimpin upaya penghilangan emisi berbahaya dan membangun ekonomi rendah karbon. Namun setiap negara yang saya kunjungi juga memiliki peran masing-masing. Saya akan meminta Jepang, Indonesia, dan Korea Selatan menggunakan sumber energi bersih.

Departemen Luar Negeri Amerika memiliki tiga strategi utama yaitu pertahanan, diplomasi, dan pembangunan. Semuanya berperan dalam mencukupi kebutuhan dan keamanan Amerika. Dahulu pembangunan hanya dianggap sebagai penunjang kebijakan luar negeri Amerika. Namun pemerintahan Obama akan memperbaiki anggapan itu.

Kami akan mendorong pembangunan internasional untuk menyebarkan kesempatan agar penduduk, terutama di pinggiran, perempuan dan anak-anak dapat memanfaatkan seluruh potensinya. Kami yakin ini dapat mempertahankan keamanan Amerika. Perdamaian dan kesejahteraan di Asia memiliki peran besar dalam upaya Amerika menjalin kerja sama politik, ekonomi, pertahanan, dan pendidikan.

***

Indonesia merupakan negara Asia yang paling dinamis. Sumber daya manusia dan aspirasi membawa negara itu menuju pemilihan umum yang adil dan terbuka, kebebasan pers, masyarakat solid, dan posisi penting bagi perempuan dalam pemerintahan.

Kami mendukung Indonesia dan negara-negara Asia lain yang memiliki nilai-nilai seperti itu. Kami berharap bisa bekerja sama dengan pemerintah Thailand, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Vietnam untuk meyakinkan bahwa ASEAN mencapai tujuannya, memaksimalkan keunggulan Asia Tenggara dalam bidang ekonomi, politik, HAM, dan isu-isu sosial.

Ada sebuah cerita rakyat China yang mengisahkan perang antara dua kerajaan. Ketika akan menyeberangi sungai di tengah badai, tentara yang berperang terperangkap dalam satu kapal.

Namun mereka tidak saling membunuh, para tentara justru bekerja sama dan akhirnya selamat. Dari cerita ini lahir peribahasa yang mengatakan 'dalam sebuah kapal, kita harus bersama-sama menyeberangi sungai dengan damai'. Kata-kata bijak itu harus menjadi pedoman kita saat ini.

*Disarikan dari pidato Hillary Rodham Clinton, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di forum Asia Society, New York, 13 Februari 2009.

(Hillary Rodham Clinton)

Sumber : www.analisis.vivanews.com

Himpunan Mahasiswa Islam

Sekilas HMI

Sebagai salah satu organisasi mahasiswa tertua di Indonesia yang didirikan oleh Lafran Pane pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta, format awal gerakan HMI selain memberikan pembinaan agama Islam kepada mahasiswa dan masyarakat untuk mengantisipasi pengaruh sekulerisme Barat juga mengerahkan milisi mahasiswa untuk berjuang secara fisik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya perjalanan sejarah HMI hingga terbentuknya HMI-MPO telah mengalami proses pematangan konsepsi gerakan. Ditingkat internal, tujuan HMI juga telah mengalami perubahan sampai enam kali. Hal ini menunjukkan bahwa HMI MPO senantiasa menyikapi secara kritis dinamika melingkupinya dengan tetap berupaya menegaskan prinsip-prinsip vital gerakannya.

Format gerakan HMI mengalami perubahan besar sejak munculnya HMI-MPO yang menjadi simbol perlawanan kelompok-kelompok kritis dalam HMI. lahirnya "anak haram" HMI MPO dari tubuh HMI telah merubah pakem gerakan HMI yang semula selalu lebih banyak akomodatif terhadap kekuasaan (state) menjadi gerakan kritis yang menjadi oposisi negara.

Lahirnya HMI-MPO

HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba orde baru. Ditengah situasi kehidupan kebangsaan yang dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga negara dan diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI-MPO hadir sebagai sosok pendekar yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah satu-satunya organisasi Islam yang pertama kali menuntut turunnya Suharto dari kursi kepresidenan. Maka tak heran jika selama kekuasaan orde baru, HMI-MPO menjadi semacam organisasi 'bawah tanah' yang berjuang melawan rezim dengan segala resikonya.

Tambahan nama MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di belakang HMI sebenarnya muncul saat menjelang kongres HMI XVI yang diselenggarakan di Padang pada tanggal 24-31 Meret 1986. Menjelang diselenggarakannya kongres HMI XVI di Padang, Sumatera barat, tahun 1986. Sejumlah elemen HMI MPO lebih senang menamakan diri HMI-MPO sebagai HMI 1947, mengacu pada tahun kelahiran organisasi ini.

Mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI begitu terkooptasi oleh rezim orde baru. Kelompok ini merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI dengan mewajibkan HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia.

Untuk menyampaikan aspirasinya, mula-mula forum MPO ini hanya berdialog dengan PB (pengurus besar) HMI. Akan tetapi karena tanggapan PB yang terkesan meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl. Diponegoro 16, Jakarta). Demonstrasi tersebut ditanggapi PB HMI dengan mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Akhirnya simpati dari anggota HMI mengalir dan gerakan ini menjadi semakin massif.

Akhirnya dalam forum kongres di Padang tesebut terpecahlah HMI menjadi dua, yaitu HMI yang menerima penerapan asas tunggal (HMI-DIPO) dan HMI yang menolak asas tunggal (HMI-MPO) atau HMI 1947 yang tetap berasas Islam. Selanjunya kedua HMI ini berjalan sendiri-sendiri. HMI-DIPO eksis dengan segala fasilitas negaranya - dan diback-up sejumlah alumni yang menjadi pejabat negara - dan HMI-MPO tumbuh menjadi gerakan underground yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara. Jama’ah HMI-MPO walaupun sedikit namun kompak, mereka yakin bahwa apa yang diperjuangkannya untuk tetap bertahan dan berjuang mempertahankan Islam sebagai azas. Sejarah mencatat, setelah reformasi setelah azas tunggal pancasila dicabut, berbondong-bondonglah ormas-ormas dan orpol-orpol kembali ke azas semula. Tak terkecuali HMI-DIPO, akhirnya mereka kembali kepada azas Islam.

Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa perjuangan HMI-MPO untuk tetap mempertahankan azas Islam merupakan bentuk konsistensi sebuah gerakan mahasiswa dalam melakukan perlawanan terhadap penindasan negara. HMI-MPO berani menanggung resiko perjuangan untuk dikucilkan dan ditekan. Karena keistiqomahan dan keyakinannya maka HMI-MPO dicatat sebagai satu-satunya organisasi yang sejak awal berani menolak kebijakan rezim orde baru yang korup.

HMI-MPO dan Gerakan mahasiswa Angkatan 1998

Tahun 90-an bisa dikatakan merupakan tahun kemesraan antara kekuatan Islam dengan orde baru. Berdirinya ICMI oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai angin segar atas akomodasi Presiden Soeharto terhadap Islam yang selama ini lebih banyak disingkirkanya. Kegiatan dakwah Islam dalam kantor-kantor birokrasi pemerintah mulai amarak. Berbondong-bongong pada tiap kantor pemerintah didirikan pengajian-pengajian dan majelis ta’lim. Perusahaan yang mendirikan pabrik di suatu lokasi diwajibkan mendirikan musholla untuk karyawannya. Masjid dibangun dimana-mana dengan bantuan yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, milik Soeharto.

Akan tetapi keadaan ini bukan berarti orde baru telah berubah menjadi baik. Akomodasi penguasa terhadap kelompok Islam hanyalah salah satu cara untuk menutupi borok-borok penguasa dan memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk. Kelompok-kelompok Islam yang independen dan kritis masih menjadi momok bagi penguasa. Demikian juga bagi HMI-MPO, kebebasan merupakan hal yang paling mahal dan HMI-MPO tetap saja menjadi organisasi bawah tanah harus memakai taktik kucing-kucingan dengan aparat untuk bertahan.

Perjuangan HMI-MPO untuk mempertahankan eksistensinya dilakukan dengan cara membentuk lembaga-lembaga kantong yang akan menjadi wadah-wadah bagi suara HMI-MPO. Hal ini dilalukan karena tidak mungkin HMI-MPO melakukan kritik secara langsung, karena di mata rezim Soeharto dianggap organisasi haram. Dibentuklah beberapa lembaga kantong aksi seperti : LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta), SEMMIKA dan sebagainya. Jika kita perhatikan strategi ini mirip dengan apa yang dilakukan HMI pada tahun 60-an dengan membentuk KAMI sebagai mantelnya. Lembaga-lembaga ini melakukan mobilisasi massa dengan melakukan parlemen jalanan.

Ketika terjadi gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998 sebagai perlawanan terhadap rezim Orde Baru, lapisan-lapisan ekstern HMI-MPO memainkan peran strategis dalam menggalang kekuatan elemen gerakan mahasiswa. Melalui poros Jakarta-Yogyakarta-Makassar, yang secara tidak langsung terbentuk sebagai sentra gerakan HMI-MPO, isu-isu gerakan dikomunikasikan ke seluruh Indonesia. Di Yogyakarta, LMMY aktif menggalang koalisi dengan elemen gerakan lainnya; di Jakarta, FKMIJ memprakarsai terbentuknya FKSMJ; serta di Makassar, para aktifis FKMIM terlibat proaktif dalam konsolidasi gerakan dan pembentukan PAMMI.

Pada aksi penduduki gedung DPR/MPR oleh mahasiswa, PB HMI-MPO juga ikut terlibat. Hingga rezim Orde Baru dengan dukungan militer, dijatuhkan. Dan pada bulan November 1998, melalui Tap MPR maka UU No. 8 Tahun 1985 tentang azas tunggal itupun dicabut secara resmi oleh MPR. Inilah dia momentum kemenangan HMI-MPO.

Peranan Kader HMI-MPO di Lembaga Intra Kampus

Selain dengan perjuangan secara langsung, HMI-MPO memanfaatkan lermbaga di intra kampus sebagai sarana memperjuangkan idealismenya. Lembaga intra kampus merupakan sarana perkaderan yang cukup efektif untuk membentuk jiwa-jiwa kepemimpian kader. Selain itu netralitas lembaga intra kampus menjadikan lembaga ini mudah untuk melakukan mobilisasi massa. Hal ini sangat mendukung dalam aksi-aksi HMI-MPO. Contoh kongkrit dari pemanfaatan lembaga intra kampus ini adalah pada saat momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.

Harus diakui bahwa fenomena munculnya aksi-aksi massa menjelang reformasi banyak dipelopori oleh kader-kader HMI-MPO. Beberapa kader yang kebetulan menjadi fungsionaris lembaga intra kampus turut mengusung isu-isu penurunan Suharto ke dalam kerja-kerja lembaganya. Aksi setengah juta massa di Yogyakarta di pelopori oleh Senat Mahasiswa UGM, organ utama dalam KM UGM, dimana think-tanknya banyak yang merupakan kader-kader inti HMI-MPO. Sebelum aksi itu SMUGM mengadakan polling yang menghasilkan rekomendasi bahwa lebih dari 80% responden menolak kepemimpinan suharto. Hasil polling ini mempengaruhi opini nasional, terutama di kalangan pra aktivis pergerakan.

Soeharto yang sudah berkuasa selama 30 tahun harus tumbang ditangan aksi-aksi massa yang dilakukan oleh mahasiswa. Krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997 ternyata berimbas pada terkuaknya semua borok yang dimiliki oleh rezim orde baru. Megahnya pembangunan yang selama ini sangat diagung-agungkan ternyata keropos, karena di bangun atas pondasi hutang luar negeri yang sangat besar. Ketika fluktuasi dollar tidak bisa ditolerir oleh kurs rupiah, tiba-tiba jumlah hutang melambung tinggi dan Indonesia harus menangis.

Yang terhormat Suharto, terpaksa harus merunduk di depan lipatan tangan Hubert Neiss (wakil IMF-International Monetary Fund) ketika menandatangani kesepakatan baru dengan IMF. Para kapital-imperialis Amerika tertawa karena telah berhasil membuat Indoensia makin tergantung. Indoensia belum merdeka!

Begitulah ketegasan sikap independensi HMI-MPO yang tidak mau tunduk kepada siapapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan. HMI MPO selalu siap bekerja sama dengan siapapun asalkan untuk meneriakan kebenaran dan keadilan. HMI-MPO Akan selalu kritis dengan siapapun tanpa pandang bulu, termasuk dengan saudaranya sendiri. Sikap HMI-MPO yang tidak mau didikte alumni (KAHMI), berlaku jujur pada siapapun, selalu berdiri diluar garis pemerintah dan bersikap kritis merupakan bukti independensi HMI-MPO.

HMI-MPO dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Satu hal penting yang menjadi dampak reformasi adalah terjadinya transformasi dari oligarchi corruption menjadi democratic corruption. Korupsi yang pada masa Orde baru hanya dilakukan oleh sekelompok elit politik berubah menjadi menyebar ke berbagai sektor, lapisan masyarakat, dan daerah secara bersama-sama dan terbuka. Hal tersebut dapat terjadi dengan menggunakan tata cara dan mekanisme demokrasi yang merupakan dampak dari gerakan reformasi. Pemanipulasian nilai-nila dan prosedur demokrasi untuk kepentingan pribadi atau golongan (corruption of democracy) dapat menyebabkan terciptanya demokrasi korupsi, yaitu suatu proses pengambilan kebijakan publik yang didasarkan atas kepentingan pribadi, keluarga, partai politik, atau kelompok kepentingan

Sebagai akibat pergantian rezim yang tanpa diikuti oleh perubahan struktur dan budaya politik, Pemilu 1999 mengantarkan pelembagaan politik dari kekuatan-kekuatan politik pada masa lalu. Para politisi yang dulu berkuasa pada zaman Orde baru melakukan metamorfose pada sebagian besar partai-partai politik seperti Partai Golkar, PDIP, PPP dll. Hal tersebut terus berlanjut sampai dengan amandemen terhadap UUD 1945.

Kegagalan mewujudkan cita-cita reformasi beserta meningkatnya ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja lembaga-lembaga tinggi negara menyebabkan terjadinya zero trust society. Elit politik dan negara berjalan sesuai dengan logika dan kepetingannya sendiri, sementara pada sisi lain mayoritas massa rakyat semakin lama akan teralienasi dalam negaranya sendiri. Transisi dan reformasi hanya menghasilkan dekonstruksi terhadap sistem politik dan budaya tanpa mampu melakukan rekonstruksi kehidupan masyarakat dan negara menjadi lebih baik. Transisi demokrasi seperti ini hanya akan mengantarkan elit politik ke panggung kekuasaan dan akan meminggirkan perjuangan reformasi. Nilai-nilai dan mekanisme demokrasi dimanipulasi untuk kepentingan elit politik

Dari Reformasi Menuju Revolusi

Terminologi reformasi haruslah diubah menjadi revolusi. Dengan revolusi diharapkan terjadi perubahan sistem tidak hanya penataan ulang sistem (reformasi). Kesempatan untuk reformasi atau menata ulang sistem telah diberikan tetapi telah mengalami kegagalan karena kuatnya dominasi elit politik. Revolusi akan membawa perubahan yang berlangsung secara cepat dan diikuti oleh terbentuknya pemerintahan yang populis, terciptanya kesadaran sosial pada massa rakyat, perubahan relasi kelas dalam struktur sosial.

Sejak tahun 1999 PB HMI MPO mengusung tema Revolusi sistemik sebagai solusi untuk melakukan perubahan di Indonesia. Dalam praksisnya Tema besar “revolusi sistemik” memang belum secara optrimal bisa dilaksanakan. Hal ini tentunya terkait dengan lemahnya kesiapan perangkat-perangkat pendukung yang mau tak mau membutuhkan jaringan yang kuat dengan elemen-elemen gerakan lain yang seide. Akan tetapi setiap periode kepengurusan PB HMI MPO senantiasa berusaha menerjemahkan tema tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Periode 1999-2001 misalnya menerjemahkan revolusi sistemik ke dalam jargon perjuangan transisi demokrasi melalui kampanye perlunya Presidium Nasional untuk memimpin transisi demokrasi. Hal tersebut dapat dipahami mengingat pada periode bangsa kita sedang menghadapi tahap awal peroses pembangunan demokrasi dan memerlukan suatu tahap untuk meletakkan pondasi sistem politik demokrasi.

Selanjutnya periode 2001-2003, PB HMI menerjemahkan revolusi sistemik ke dalam perjuangan menolak neo-liberal dan neo-imperialisme sebagai tekanan utama. Paska konsolidasi kehidupan politik nasional, bangsa kita berhadapan dengan tekanan dari tatanan ekonomi dan poltik internasional yang didominasi oleh Amerika Serikat. Isu penghentian utang luar negeri, pemutusan hubungan dengan IMF, gerakan anti-privatisasi BUMN, gerakan perlindungan terhadap petani, peningkatan subsidi untuk rakyat kecil, menjadi icon dan fokus perjuangan HMI. Hal tersebut mendorong HMI untuk memperkuat wacana dan isu-isu internasional sebagai salah satu sasaran dalam revolusi sistemik. Revolusi sistemik juga berdimensi internasional melawan pengaruh imperialisme yang bermetamorfose dalam bentuk neo-liberal, good governance, dll.

Periode 2003-2005 adalah kelanjutan dari periode 2001-2003, namun demikian penerjemahan revolusi sistemik tidak lagi berdimensi internasional melainkan menekankan dimensi nasional yaitu pembaharuan sistem ke-indonesiaan unuk kaum lemah dan terpinggirkan. Ada dua pertanyaan besar yang ingin dijawab. Pertama mengapa perubahan sistem ke-indonesiaan yang harus dirubah? Kedua, mengapa kaum yang lemah dan terpinggirkan menjadi fokus gerakan? Perubahan sistem ke-Indonesiaan diletakkan dalam situasi kebangsaan yang terhimpit oleh desain struktural dan tekanan global.

Rekonsolidasi Orde Baru dan TNI ke dalam tatanan politik nasional, gagalnya cita-cita reformasi, terinstitusionalisasikannya otoritarianisme dalam orde reformasi merupakan desain struktur yang dirancang oleh elit politik dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan kontrolnya terhadap masyarakat. Sementara tekanan global lebih pada tekanan-tekanan ekonomi dan politik yang dilakukan oleh Amerika Serikat beserta tatanan politik internasional yang dominan dalam bentuk bantuan asing dan isu terorisme.

Tekanan internasional dan desain struktural untuk mengembalikan otoritarianisme melalui dominasi dan hagemoni negara terhadap masyarakat sipil menuntut perubahan sistem ke-Indonesiaan secara total. Crisis of management crisis atau krisis dalam manajemen pengelolaan krisis menyebabkan proses pembangunan demokrasi dijadikan sebagai alat bagi rekonsolidasi Orde Baru dan TNI.

Penolakan PB HMI MPO terhadap penyelenggaraan pemilu 2004 bukan sebuah sikap yang tanpa alasan. Masih bercokolnya kekuatan-kekuatan lama dalam pertarungan pemilu 2004 serta buruknya sistem pemilu yang diterapkan hanya akan menjadikan pemilu 2004 sebagai alat legitimasi baru bagi rezim yang otoriter dan kapitalis untuk kembali berkuasa.

Secara kasat mata kita semua sudah bisa meramalkan siapa-siapa yang akan memenangkan pemilu 2004 dan akan duduk dalam kursi-kursi kekuasaan negeri ini. Kelompok politik neo-kapitalis di perkuat yang tidak lain adalah wajah baru orde baru sudah jelas-jelas akan kembali berkuasa di negeri ini. Sementara kita tidak melihat peluang kekuatan reformis untuk bisa menandingi mereka. Oleh karena itu pemilu 2004 sebagai sebuah mekanisme demokrasi justru hanya akan melahirkan kepemimpinan nasional baru yang anti demokrasi. Sungguh ironis, Demokrasi akan di matikan oleh mekanisme demokrasi itu sendiri.

Struktur Organisasi HMI-MPO

Struktur organisasi HMI-MPO dibagi dalam beberapa golongan yakni struktur kekuasaan, struktur pimpinan, Lembaga-lembaga Khusus, Lembaga Kekaryaan serta Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO).

Struktur kekuasaan HMI dipegang oleh forum Kongres, Konperensi Cabang (Konperca) serta Rapat Anggota Komisariat (RAK). Sedangkan struktur pimpinan terdiri atas Pengurus Besar (PB), Pengurus Cabang (PC), serta Pengurus Komisariat (PK).

Untuk memperlancar serta mempermudah manajemen organisasi maka dibentuklah Koordinator Komisariat (KORKOM) sebagai pembantu cabang dalam mengkoordinir komisariat, serta Badan Koordinasi (BADKO) sebagai pembantu Pengurus Besar dalam mengkoordinir cabang. HMI (MPO) hingga saat ini (okt 2003) telah memiliki 38 cabang yang tersebar diseluruh penjuru Tanah Air dan untuk itu dibentuk 3 Badan Koordinasi (Badko) yakni: Badko Indonesia Bagian Barat (Sumatra,Banten,DKI,Jabar), Badko Indonesia Bagian Tengah (Kalimantan,Jateng,DIY,Jatim,Bali) dan Badko Indonesia Bagian Timur (Sulawesi,Maluku,NTB,NTT,Papua).

Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang terkait dengan bidang khusus, maka dibentuk Lembaga-lembaga Khusus seperti Korps Pengader Cabang (KPC), Korps HMI-Wati (KOHATI), dan lain-lain. Sedangkan untuk meningkatkan dan mengembangkan keahlian dan profesionalisme para anggota HMI, dibentuk Lembaga-lembaga Kekaryaan seperti Lembaga Pers Mahasiswa Isalam (LAPMI), Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI), dan sebagainya.

== Susunan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Periode 1426-1428 H/2005-2007 M ==

KETUA UMUM : MUZAKKIR DJABIR

SEKRETARIS JENDERAL : ILHAM MUNAJAT WIJAYA Wakil Sekretaris Jenderal : Muhammad Kasman Wakil Sekretaris Jenderal : Abdul Haris Abdullah Wakil Sekretaris Jenderal : Sobirin Imtihan Wakil Sekretaris Jenderal : Ahmad Zainur Rosyid

BENDAHARA UMUM : SUSIYANTI Wakil Bendahara Umum : Dedi Mustadi Wakil Bendahara Umum : Cut Ummi Kulsum

PENGURUS HARIAN Ketua Komisi Internal : Temu Sutrisno Staff : Yessi Puji Astuti Staff : Salamah

Ketua Komisi Pendidikan : Yudi Iskandar Staff : Agung Tri Staff : Widi Arini

Ketua Komisi Hukum dan HAM : Anthomy Khusairi Staff : Makmur Alto Staff : Muhammad Karyadin

Ketua Komisi Pemuda dan Kemahasiswaan : Lukman Wibowo Staff : Arifin Temuhulawa Staff : Muhammad Yamin

Ketua Komisi Lingkungan Hidup : Imam Mudhofir Staff : Rudi Hantoro Staff : Rahmat Irawan

Ketua Komisi Ekonomi dan Pembangunan : Arif Media Resky Staff : Wawan Ahmad Dahlan Staff : Imam Affandi

Ketua Komisi Riset dan Pengembangan Strategi Gerakan : Yogie Maharesi Staff : Surachmat Staff : Nur Fajri Budi Nugroho

Ketua Komisi Politik : Mohammad Rajab Staff : HM. Akil Rahman Staff : Didik Sapari

Ketua Komisi Hubungan Internasional : Hanrezi Dhania Staff : Delni Irawati Djamalus Staff : Anwar Razak

LEMBAGA KOORDINASI Ketua Umum Badko Inbagtim : Amrullah Ahmad Ketua Umum Badko Inbagtar : Itho Murtadha Ketua Umum Badko Inbagteng : Azwar Syafei Ketua Umum Badko Inbagbar : Yayan Fauzan

LEMBAGA KHUSUS Ketua Umum Kornas Kohati : Leniawati Direktur Pusat Arsip Nasional : Susanto

LEMBAGA KEKARYAAN Direktur LAPMI : Muhammad Syukur Direktur LEMI : Sugeng Miryanto Direktur LDMI : Ikrom Faldiansyah

BIRO KESEKRETARIATAN Kepala Biro Kesekretariatan : Faisal Andi Rizal

Sumber : www.wikipedia.org

Pengikut