Minggu, 30 November 2008

Penghisapan atas nama Pembangunan

Penghisapan atas nama Pembangunan
Oleh : Sani Rachman S*
*) Mahasiswa Fakultas Kedokteran UII

Era orde baru ditandai dengan naiknya Soeharto menjadi Preseiden RI kedua menggantikan Presiden Soekarno melalui Supersemar sebagai alat legitimasi pemindahan kekuasaan “dengan paksa” pada zaman itu. Titik tekan pembangunan orde baru di fokuskan pada bidang ekonomi. Antitesis dengan poin of view orde lama dibidang politik. Ini menandakan apa yang dikatakan oleh Bung Karno, Revolusi belum selesai. Orde baru yang lahir melalui dinamika sosial politik ketika tetanan demokrasi mulai menempatkan posisinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namu seolah hal itu menjadi abu yang ditiup angin, melalui maneuver-manuver politik orba, tatanan demokrasi tersebut diberangus oleh kepemimpinan despoti ala Soeharto.

Kita mungkin tidak ikut merasakan apa dan bagaimana situasi yang terjadi pada saat itu, karena kita hanya menyaksikan melalui TV ketika perpindahan kekuasaan dari orba ke era reformasi, dan juga kita hanya mendengar derap langkan perjuangan founding fathers Bangsa melalui kakek dan nenek kita tentang arti sebuah perjuangan. Satu makna, Kita bukan pelaku sejarah!

Tak dapat dipungkiri, untuk dapat menancapkan kukunya dalam percaturan politik untuk membangun dinasti kekuasaan yang sentralistik dibentuk susunan kabinet yang dinamakan kabinet pembangunan. Kuku kabinet oembangunan yang semakin tajam dan mencabik-cabit martabat rakyat semakin dalam menusuk bahkan menindas moral rakyat Indonesia pada saat itu.

Atas nama pembangunan, prestasi-prestasi semakin banyak diraih, tentunya prestasi dalam menelanjangi kepentingan bangsa Indonesia. Dimulai ketikan kontrak karya PT. Freeport Mc Moran tahin 1968 yang mengeksploitasi dan mengekplorasi hasil kekayaan alam bangsa Indonesia di tanah papua. Melihat “Negara kecil” yang bernama Freeport dengan segala perbedaan yang muncul menimbulkan kelas social dimasyarakat, kelas kaum proletar yang wakili oleh penduduk asli papua dan kelas borjuis yang diwakili oleh pemilik saham. Kesenjangan semakin tampak ketika mutiata yang berkilau ditengah padang pasir (eksistensi Freeport dengan masyarakat papua.pen) seolah-olah tutup mata terhadap kesejahteraan rakyat papua. Entah berapa juta ton emas yang sudah diangkut, entah sudah berapa juta ton bijih besi yang sudah dibawa yang pada dasarnya dapat dipergunakan untuk kemaslahatan rakyat papua. Uang yang dihasilkan sebenarnya dapat digunakan untuk pembangunan rakyat papua, justru sebalinya uang tersebut digunakan untuk memperlicin segala urusan dengan memberikan iming-iming duit kepada pejabat Negara. Kontrak Karya 1 yang berlaku sampai 30 tahun Indonesia mendapatkn 9.36% sedangkan Freeport mendapatkan 81% 1. Apakah ini bukan namanya nekolim yang pernah diutarakan oleh Bung Karno. Belum lagi ecocide yang terjadi karena mencemari lingkungan sekitar. Ketidak adilan yang terjadi seakan menempatkan bangsa Indonesia ini pada posisi lemah, Bung Karno mengidentikan bangsa ini dengan bangsa Tempe yang lemah, takut duduk, takut berdiri karena semua yang dikerjakan selalu salah, Bangsa yang hanya bisa berkata Ya Tuan..Ya Tuan..

Kasus lain yang mengatasnamakan pembangunan namun berdiri diatas darah rakyat Indonesia adalah kasus PT. Inti Indorayon Utama. Sekitar tahun 1980, seorang konglomerat China bermaksud membuat pabrik kertas di daerah Sumatra Utara. Pabrik kertas tersebut memerlukan sekitar 200.00 ha pembebesan lahan untuk kepentingan perusahaan. Awal mula hal tersebut disambut baik oleh masyarakat sekitar karena dengan dibangunnya pabrik tersebut dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Ketimpangan mulai terjadi ketika dalam prosesnya lahan pembebasan tersebut menggunakan tanah adat dan terjadi manipulasi kesepakatan warga, disamping itu limbahnya dapat merusak ekosistem disekitar taman nasional danau toba. Entah apa yang ada dibenak para pemimpin kita pada saat itu, seolah-olah tanpamelihat resiko kedepan Preseiden Soeharto dan Gubernur Sumatra Utara mengizinkan perusahaan tersebut berdiri. Setelah perusahaan tersebut berdiri ternyata ketimpangan-ketimpangan semakin jelas, mobil truk melintasi jalan desa sehingga menimbulkan longsor dan banyak korban yang berjatuhan. Pencemaran limbah industry merusak eksosistem sekitar bahkan sempat terjadi ledakan gas yang efeknya sampai radius 25 km, banyak korban yang berjatuhan2 . Perlawanan warga dengan memblokir jalan menuju perusahaan seolah-olah tidak ada hasilnya karena dilindungi oleh kepentingan penguasa. Sampai detik ini, perjuangan warga masih berlangsung untuk mendapatkan keadilan social dan kemanusiaan yang adil dan beradab bukan kemanusiaan yang menari-nari diatas darah rakyat.

Kasus yang juga menarik dicermati adalah kasus pembangunan waduk kedong ombo di daerah Jawa Tengah. Waduk kedong ombo yang dalil pembangunannya akan digunakan sebagai waduk serba guna meninggalkan kepedihan dihati rakyat. Ternyata Bank Dunia berperan disana (masih ingat consensus Washington yang salah satu anggotanya adalah World Bank?). Waduk yang akan digunakan sebagai pengairan, pembangkit listrik dan sebagainya ini dengan cara paksaan memindahkan warga yang rumahnya berada disekitar daerah relokasi. Pemindahan secara paksa dan uang ganti rugi yang sangat rendah menimbulkan kesengsaraan. Lagi-lagi rakyat yang harus menjadi korban. Ironisnya, pada saat waduk tersebut diresmikan oleh Presiden Soeharto, banyak warga yang masih tetap bertahan dirumah mereka sambil sedikit demi sedikit menanti rumah mereka terdendam air. Mereka tetap mempertahan kan tanah leluhurnya dan bahkan tidak mengangkat barang-barang yang terdapat didalam rumah karena mereka merasa mendapatkan ketidak adilan oleh pengusa.

Inikah yang dinamakan pembangunan? Pembangunan yang menancapkan kukunya untuk menari nari diatas penderitaan Rakyat Indonesia. Pembangunan yang memasung dan memperkosa hak rakyat Indonesia. Inilah dampak dari revolusi setengah hati, revolusi belum tuntas. Namun karena kepentingan segelinir orang yang haus akan kekuasaan rela mengorbankan martabat bangsa dan negara.

1. Rais, Amien. Agenda mendesak bangsa, Selamatkan Indonesia, Yogyakarta, ppsk press : 2007
2. Culla, Suryadi. Rekonstruksi Civil Society, wacana dan aksi ornop di Indonesia. Jakarta, LP3ES : 2006

Tidak ada komentar:

Pengikut