Minggu, 30 November 2008

Reformasi Setengah Hati

Reformasi Setengah Hati
Oleh : Sani Rachman S*
*) Mahasiswa Fakultas Kedokteran UII

Reformasi yang ramai didengungkan dalam 1 dasawarsa terakhir ini memunculkan secercah harapan. Harapan untuk menyongsong masa depan yang lebih baik dan masa depan yang berperi kemanusiaan dan ber peri keadilan. Tonggak era reformasi diawali dengan turunnya rezim otoriatrian, Soeharto dari kursi Presiden. tidak cukup dengan itu, pengganti Soeharto yang tidak lain adalah anak didiknya, B.J Habibie diangkat menjadi Presiden pengganti masih dianggap kroni Soeharto. Mahasiswa memegang peranan yang penting dalam era transisi tersebut. Pergolakan arus turbulensi politik yang sangat deras bahkan menyeret segenap elemen mahasiswa yang berjuang tanpa kompromi. Dampaknya, banyak aktivis yang ditangkap dan dibunuh. Namun, ada juga tokoh-tokoh yang dengan picik ingin mendapatkan keuntungan dari permasalahan ini, berusaha mendapatkan simpati rakyat untuk tampilan sebagai hero padahal kontribusinya nol besar. Tindakan seluruh elemen bangsa secara represif khususnya mahasiswa untuk menguasai parlemen berbuah manis dengan lengsernya Sang Diktator.

Era reformasi yang sangat deras didaerah menuntut keadilan pembangunan antara pusat dengan daerah. Daerah-daerah yang terisolir akhirnya mampu mengembangkan potensi daerahnya masing-masing. Terealisasinya UU Otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat daerah seakan-akan melegitimasi kekuasaan daerah untuk dapat memberikan excellent services bukan hanya sekedar lip servives seperti rezim orba. Sekelumit arus reformasi didaerah akhirnya menimbulkan perkembangan pesat didaerah walaupun masih sangat kurang anakan pemerataan SDM yang berkualitas.

Awal reformasi, tepatnya ketika tampuk pimpinan dipegang oleh kendali B.J Habibie, prestasi besar terjadi. Dalam kurun waktu 1 tahun kepemimpinan Habibie, kebijakannya dengan memberikan keputusan jajak pendapat terhadap Rakyat Timo Timur menuai bencana. Tiada lain dan tiada bukan adalah lepasnya provinsi Indonesia ke 27 itu. Jajak pendapat yang dilakukan akhirnya harus merelakan Timor Timur berpisah dari NKRI. Patut dicermati bahwa tugas Habibie pada saat itu adalah mensuksesnya pemilu demokratis pertama kali setelah runtuhnya rezim orba. Namun kontra prestasi tersebut seolah-olah tidak menghargai peran pejuang dalam mempertahankan NKRI. Karena efek samping kedekatan Habibie dengan Soeharto, rakyat selalu berpikiran skeptic dengan segala kebijakan Habibie.

Gerbong Reformasi menyeret KH. Abdurrahman Wachid sebagai Presiden RI ke 4 menggantikan Habibie. Inilah Preseiden pertama Indonesia dari kalangan ulama. Beliau adalah cucu pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari. Gus Dur, memimpin Indonesia hanya dalam sekejap mata, karena ketidak mampuan dia dalam melawan arus demokrasi yang akhirnya menyeret dia lengser dari kursi Presiden. Konflik yang terjadi antara Presiden dengan Parlemen akhirnya membuat Gus Dur mengeluarkan Dekrit pembubaran DPR. Aksi ini langsung di tanggapi oleh DPR, melalui Ketua DPR Ir. Akbar Tandjung dengan meminta fatwa MA tentang dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden. Dengan alasan bahwa dekrit tersebut tidak memiliki kekuatan akhirnya MA membatalkan dekrit dan DPR segera menurunkan Presiden secara konstitusional.

Memasuki zaman Megawati Soekarnoputri, Presiden pertama RI dari kaum hawa. Pencerahan mulai tampak menggeliat. Kabinet yang disusun yang didalamnya memuat nama Susili Bambang Yudhoyono Sebagai menteri coordinator Politik dan Keamanan dan Drs. M. Jusuf Kalla sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan rakyat yang akhirnya menjadi rival dalam perebutan RI 1 tahun 2004. Tidak ada perubahan signifikan yang terjadi pada era Megawati, Kecenderungan relative sama saja dengan Presiden terdahulu. Hanya saja kasus yang sempat hangat dibicarakan adalah kasus LNG Tangguh yang presentasi penjualan gas sangat rendah, sangat kontradiktif dengan apa yang terjadi dengan LNG Bontang. Sampailah akhrinya perseteruan antara MSP dengan SBY dalam kabinet yang tentunya mempengaruhi stabilitas kabinet ditandai dengan mundurnya SBY dari kebinet. Akhirnya, karena SBY di dzalimi apresiasi masyarakat sangat tinggi terhadap SBY. Tak mengherankan ketika SBY dan Demokrat menjadi icon bangsa dikemudian hari. Bak, bayi ajaib democrat yang notebene merupakan partai baru mampu menghipnotis masyarakat dengan perolah suara 7 % parlemen dan lolos electoral threshold. Hal itulah yang kemudian mengantarkan SBY sebagai Presiden RI ke 6.
Seiring dan sejalan atas nama reformasi, kebijakan demi kebijakan yang pro rakyat harus dapat dikedepankan. Dalam beberapa iklan politinya dimedia mengatakan bahwa Indonesia menerapkan kembali swasembada pangan, kemiskinan menurun, pengangguran menurun, bahkan ditengah kirisis global seperti saat ini pertumbuhan ekonomi di tergetnya 6%. Bukan hal yang aneh ketika masa kampanya yang berlangsung 9 bulan ini dijadikan asas legal formal untuk mendapatkan simpati rakyat. Walaupun sempat diterpa isu kenaikan harga BBM, Korupsi dalam kabinet yang merajalela ditanggapi dingin oleh SBY. Konflik internak sempat mecuat antara Presiden dengan Wakil Presiden. Namun lagi lagi dengan berkelit SBY mampu meredam permasalahan tersebut. Intrik politik ambil hati rakyat dengan menurunkan harga BBM bersubsidi dari Rp.6.000 menjadi Rp. 5.500 tampak permainan politik berperan disana. Tidak salah memang jika dikemudian hari lawan-lawan politik SBY mencurigai bahwa hal ini merupakan taktik dan strategi SBY. Menurut penulis, logika politik memang mengharuskan SBY membuat kebijakan-kebijakan yang pros rakyat apalagi mendekati pemilu. Dengan status SBY sebagai incumbent memag setingkat lebih diuntungkan dibanding dengan Capres yang lain. Sebenarnya bukan hanya SBY yang dapat menurunkan harga BBM, dalam konteks suasana politik seperti saat ini megawati pun, Jusuf Kalla pun atau bahkan penulis sendiri akan melakukan hal yang sama jika posisinya sebagai Presiden dalam rangka mendapat simpati rakyat.

Reformasi setengah hati, pada dasarnya masih meningglkan noda hitam dalam masyarakat. Program-program yang dicanangkan oleh para pemimpin masih belum dapat dirasakan oleh segenap elemen bangsa Indonesia.

Kenapa dikatakan reformasi setengah hati? Jawabannya jelas dari Presiden awal era refomrasi sampai Presiden terakhir sama-sama memiliki PR yang sampai saat ini tidak dapat terselesaikan. Yaitu masalah Neo kolonialisme dan Neo Imperialisme (Nekolim), siapa yang berani maju tampil terdepan dalam menuntaskan ketidak adilan yang didapatkan rakyat. Coba bayangkan, dari sekian banyak Presiden RI yang ada semuanya bermentak krupuk, krupuk yang cepat mlempem ketika terkena angin dan cepat rusak terkena air. Kapitalisme yang merajalela dengan membentuk kelas-kela social dimasyarakat semakin menambah jurang pemisah antara kaum borjuis dan kaum proletar. Siapa yang mampu menyelesaikan permasalahan global yang sejak zaman dahulu proses penjajahan secara ekonomi dan politik masih menjadi simblolisasi ketidak berdayaan bangsa?

Kesimpulannya, sampai saat ini, belum ada pemimpin yang merepresentasikan kepentingan rakyat. Selagi neo imperialisme dan neo kolonialisme masih merasuk disanubari para penguasa, kemerdekaan sejati masih menjadi angan-angan semata. Revolusi yang ditekadkan oleh Bung karno belum usai, Indonesia harus melalui reformasi setengah hati. Reformasi semu yang memberikan impian impian dusta kepada rakyat untuk dapat meraih kenyataan yang fiktif.

Tidak ada komentar:

Pengikut