Minggu, 28 Juni 2009

Visi Ekonomi para Capres


M. Ikhsan Modjo

Direktur INDEF


Debat calon presiden (capres) pada kamis malam terasa agak berbeda dari dua debat sebelumnya. Suasana yang tercipta terasa lebih cair. Para capres pun berusaha untuk saling berbeda, meski tidak secara konfrontatif. Debat kali ini bukan hanya berkutat pada topik kemiskinan dan pengangguran yang diberikan oleh KPU. Akan tetapi juga bersayap pada persoalan-persoalan ekonomi lain. Kemiskinan dan pengangguran sendiri merupakan dua hal yang selama bertahun-tahun telah menjadi isu ekonomi dan politik di Indonesia. Tentunya, mutlak bagi seorang kandidat capres untuk memiliki kiat-kiat khusus untuk mengatasi kedua permasalahan ini.


Secara umum, ketiga capres agaknya sepakat untuk memberikan prioritas lebih pada sektor pertanian ke depan. Hal ini tentu saja adalah tepat. Sekitar 65 persen keluarga miskin hidup di perdesaan, yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian. Demikian pula tidak kurang dari 40 persen pekerja berada di sektor pertanian. Sehingga pengatasan masalah kemiskinan dan pengangguran tentu saja harus memprioritaskan sektor ini.Dalam hal strategi, dua dari tiga capres --Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK)-- juga sepakat untuk menjalankan strategi yang bertumpu pada dua hal sekaligus: pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan penduduk miskin. Megawati Soekarnoputri (Mega), dari jawaban yang diberikan, lebih menekankan pada strategi tidak adanya upaya penggusuran paksa (Koran Tempo 26 Juni 2009, hal. A2). Strategi SBY dan JK juga adalah benar. Sebab dari kajian empiris tidak pernah terjadi pengurangan angka kemiskinan dalam perekonomian yang tidak tumbuh. Pengurangan kemiskinan hanya dapat terjadi bila terjadi pertumbuhan. Tetapi, pertumbuhan tidaklah cukup. Kue pertumbuhan kerap hanya dinikmati oleh segelintir kalangan, sehingga diperlukan intervensi langsung melalui pemberdayaan. Namun, SBY dan JK berbeda dalam target tingkat pertumbuhan dan langkah pemberdayaan masyarakat yang akan ditempuh. SBY mematok angka rata-rata 7 persen, sementara JK memasang angka rata-rata 8 persen. Dalam hal pemberdayaan, SBY akan terus melanjutkan berbagai program-program yang tergabung dalam program nasional pemberdayaan mandiri (PNPM mandiri) dan pemberdayaan usaha mikro (UMK). Sementara JK, selain akan meneruskan berbagai program ini, juga memberi penekanan lebih pada pemberdayaan usaha usaha kecil menengah dan mikro (UMKM) bukan hanya mikro.


Penekanan ini terlihat dari janji JK untuk melakukan sebuah program tambahan berupa Kredit MAMPU, yang dalam keterangannya merupakan kredit langsung tanpa jaminan sebesar Rp 3 sampai dengan Rp 20 juta bagi pengusaha UMKM, tanpa melalui mekanisme perbankan. Tawaran ini saya kira adalah tepat. Sebab saat ini terdapat tidak kurang dari 50 juta unit usaha UMKM di Indonesia, yang menampung sekitar 100 juta lebih angkatan kerja. Salah satu kendala berusaha mereka adalah akses pada modal. Saat ini meski terdapat banyak tawaran dari perbankan, akan tetapi terdapat syarat-syarat formal yang kerap sulit dipenuhi oleh pengusaha UMKM. Bantuan permodalan memungkinkan melakukan ekspansi usaha, dimana dengan ekspansi usaha ini dapat membuka lapangan pekerja lebih banyak. Bila saja 10 persen dari unit usaha UMKM menambah satu pekerja dalam satu tahun, maka akan tercipta lima juta lapangan tenaga kerja baru yang lebih dari cukup untuk mengatasi persoalan pengangguran dalam lima tahun ke depan.


Perbedaan krusial antar para capres juga terlihat dalam beberapa hal, antara lain dalam persoalan utang, undang undang (UU) investasi, UU ketenagakerjaan, dan tenaga kerja terdidik. Dalam hal utang, Mega dengan tegas mengatakan akan memberhentikan menambahan utang negara. Satu hal yang patut dipuji, mengingat utang dewasa ini lebih menjadi momok ketimbang kebutuhan. Sumber-sumber yang ada dari dalam negeri baik berupa pendapatan pajak atau pendapatan pemerintah dalam bentuk lain sesungguhnya masih mencukupi bila dikelola secara optimal. Sementara dengan berutang, sama saja bangsa mengadaikan sebagian kedaulatannya kepada negara lain. Sebab hampir semua utang diberikan dengan kondisi dan syarat tertentu, meski secara tidak eksplisit dicantumkan.Dalam hal utang, JK mengatakan akan tetap melakukan bila dipandang perlu, namun harus dibatasi tidak lebih dari 1,3 persen dari pengeluaran. Sementara SBY dengan penuh percaya diri mengatakan akan tetap melanjutkan utang, karena menganggap penambahan utang adalah hal biasa dan dimungkinkan bila pada saat yang sama terjadi pertumbuhan.


Pada UU Investasi, lagi-lagi Mega berbeda dengan SBY dan JK. Mega dengan tegas mengatakan akan merevisi UU ini, karena menganggapnya terlalu liberal. Sementara, SBY dan JK akan tetap melanjutkan, akan tetapi menyempurnakannya dengan berbagai peraturan tambahan. Pada konteks ini, SBY dan JK adalah benar. Sebab liberal atau tidaknya UU ini sangat tergantung pada aturan pelengkapnya berupa peraturan pemerintah (PP) tentang daftar negatif investasi, yang biasanya diperbaharui setiap tahun.Dalam hal UU investasi JK juga menekankan pentingnya revisi UU tenaga kerja, yang membawa kita pada titik perbedaan yang lain. Di sini , JK dan Mega memiliki pandangan yang sama tentang perlunya revisi UU ketenakerjaan. Sementara, SBY memandang tidak perlu ada perubahan. Akan tetapi cukup mengoptimalkan mekanisme bipartit yang telah ada saat ini. JK dan Mega adalah tepat pada masalah ini. Dalam bahasa JK, UU tenaga kerja saat ini tidak disukai baik oleh buruh maupun pengusaha. Para buruh tidak menyukainya karena longgarnya pengaturan tentang outsourcing di dalamnya.


Sementara pengusaha memberatkan UU ini karena terdapat aturan tentang pesangon yang sangat memberatkan pekerja ketika perlu dilakukan satu pemutusan hubungan kerja pekerja tetap. Jalan keluar yang masuk akal tentu saja adalah merevisi UU ini dengan melibatkan kelompok buruh dan pengusaha. Revisi nantinya haruslah menetapkan aturan yang lebih ketat berupa perlindungan dan hak-hak lebih pada buruh outsourcing. Pada saat yang sama, revisi juga harus mengurangi beban berlebihan yang dipundakkan pada pengusaha dalam hal pesangon. Tanpa adanya revisi pada kedua poin ini, ketidakpuasan kedua belah pihak selama ini akan terus berlanjut, sehingga dampak buruknya akan terus dirasakan pada perekonomian.


Salah satu dampak buruk yang juga merupakan titik perbedaan lain dari para capres adalah dalam hal pengangguran terdidik. Persamaannya hanya pada pentingnya pemberian ketrampian wirausaha. Mega menambahkan perlunya insentif lebih tinggi, sementara SBY dan JK menginginkan adanya perbanyakan pendidikan kejuruan dan pembukaan balai ketrampilan.Baik pendidikan wirausaha atau peningkatan ketrampilan tidak cukup mengatasi masalah tenaga kerja terdidik, yang dewasa ini sudah mencapai hampir satu juta orang. Peningkatan pengangguran terdidik salah satunya disebabkan beratnya aturan pesangon dan ketentuan upah minimum pada UU ketenagakerjaan. Dua hal ini menyebabkan dunia usaha lebih menyukai merekrut angkatan kerja secara kontrak ketimbang tetap. Ketentuan ini juga merugikan pekerja-pekerja yang minim pengalaman, seperti misalnya tenaga kerja yang baru saja lulus akademi atau kuliah (SMERU, 2001). Sehingga selain pendidikan kewirausahaan dan ketrampilan juga diperlukan revisi atas aturan ini, sebagaimana yang diyakini JK dan Mega.


Begitulah persamaan dan perbedaan visi dan program dari ketiga capres. Substansi penjabaran dari masing-masing kandidat setidaknya telah memberikan gambaran yang lebih jelas tentang strategi dan arah kebijakan mereka. Selebihnya, rakyatlah yang menentukan pilihannya.


Selasa, 23 Juni 2009

Kesehatan dan Aspek Kesejahteraan Sosial

Oleh : Sani Rachman S

Berbicara mengenai kesehatan akan berbicara mengenai permasalahan yang komprehensif. Mulai dari aspek ekonomi, politik, dan tentunya aspek kesejahteran sosial. Jangkauan berbagai bidang tersebut membuat mahalnya harga sebuah kata, sehat. Dalam sistem globalisasi seperti dewasa ini, kesehatan Indonesia masih harus merangkak setahap demi setahap untuk mencari eksistensi yang sesungguhnya. Bukan tidak mungkin, jika Indonesia tidak memiliki sistem kesehatan yang kokoh, globalisasi akan menyeret Indonesia ke dalam kesakitan. Seperti dengan bidang-bidang lain kehidupan, ketidaksiapan dalam menghadapi arus globalisasi akan membuat jurang pemisah yang sangat dalam antara Indonesia dengan negara-negara dunia ketiga lainnya.

Kesehatan Indonesia masih mencari bentuk yang ideal dalam memberikan pelayanan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam suku dan budaya disatu sisi sangat menyulitkan untuk dapat mengakses daerah-daerah terpencil di pedalaman Indonesia. Padahal disatu sisi diperlukan sistem kesehatan yang merata untuk dapat memenuhi kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini sentralisasi kesehatan hanya berpusat pada daerah jawa dan sekitarnya, dimana dengan segala kelengkapan alat dan sistem yang ada segala kebutuhan kesehatan dapat terpenuhi secara menyeluruh. Bagaimana dengan daerah perifer yang dengan segala kekurangan yang ada, baik dari segi sumber daya tenaga kesehatan sampai kelengkapan alat dan bahan yang tersedia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat secara komprehensif. Jadi jangan dipertanyakan apakah implementasi UU Praktek Kedoktera sudah sesuai dengan standar pelayanan yang ada atau bahkan belum. Jika UU tersebut diimplementasikan didaerah perifer bukan tidak mungkin ada ratusan atau bahkan ribuan rakyat yang mati sia-sia.

Sistem kesehatan itulah yang sangat mengekang rakyat untuk dapat mendapatkan pelayanan yang prima dalam bidang kesehatan. Mahalnya harga sehat terkadang harus dibayar dengan harga yang setimpal untuk dapat mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan sosial. Sistem kesehatan Indonesia perlu introspeksi diri terhadap segala macam kebijakan yang mengekang rakyat untuk dapat bebas memilih dan menentukan pelayanan yang prima. Satu langkah sudah dapat dicapai oleh pemerintah saat ini yaitu sistem Jamkesmas yang bak dewa penolong bagi rakyat untuk dapat memberikan kesehatan yang gratis bagi masyarakat luas. Suatu terobosan yang sangat populis yang mampu mengakomodir kepentingan bersama. Dalam sistem ini aspek kesejahteraan sosial dari segi pembiayaan kesehatan sudah dapat tercapai karena kepentingan rakyat golongan menengah ke bawah dapat diletakkan dalam top perform sistem kesehatan. Akan tetapi permasalahan yang lain muncul sedikit demi sedikit yang jika tidak diatasi akan menumpuk dan menimbulkan masalah sosial yang baru.

Sinergis dengan sistem Jamkesmas, program yang terlebih dahulu muncul adalah program Desa Sehat. Desa sehat merupakan program pemerintah untuk mendukung visi Indonesia Sehat 2010. Seperti mimpi disiang hari, fajar 2010 sudah kurang dari tujuh bulan lagi, namun implementasi program ini jauh dari target yang dicapai. Dengan sisa waktu yang ada seakan-akan program ini menjadi mubazir karena tentunya dalam implementasi memerlukan anggaran dana yang tidak sedikit. Hasil evaluasi program ini sudah tidak applicable untuk dapat menuju output yang diharapakan. Akan tetapi program ini bukan kemudian cacat tanpa dapat diperbaiki, hanya saja yang diperlukan adalah mengoptimalkan sisa waktu yang ada untuk dapat mencapai target minimal yang dapat dicapai.

Program Jamkesmas dan program Desa sehat merupakan sinergisitas program yang sesuai dengan semangat UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika menilik semangat UUD 1945 jelas sudah tampak kesejahteraan sosial ditempatkan sebagai parameter akhir pembangunan Indonesia. Pun demikian dengan kesehatan, premabule UUD 1945 secara eksplisit menjelaskan keadilan social sebagai parameter kesejahteraan social dan kesehatan bangsa. Semangat itu yang tidak dihayati oleh segenap rakyat bangsa Indonesia khususnya oleh elit politik bangsa yang saling sikut untuk berebut kekuasaan.

Kembali ke konsep Desa sehat yang bersinergi dengan Jamkesmas, Dengan sisa waktu yang ada optimalisasi dan komitemen bersama aparat kesehatan dan rakyat sangat diperlukan agar konsep yang nyaris expired ini dapat massif dari segi proses dan hasil walaupun untuk mencapainya perlu kerja keras semua pihak. Menilik konsep Desa sehat tersebut diperlukan sarana dan prasarana yang titik tekan kegaiatan ini adalah pemberdayaan masyarakat. Sarana dan prasarana yang diperlukan bukan fasilitas yang mewah beserta dengan alat-alat canggih yang harus ada. Akan tetapi pemberdayaan masyarakat dengan forum-forum kesehatan desa, yang mana dari kegiatan tersebut diharapkan dapat menjadi penapis permaslahan kesehatan di tingkat desa.

Infrastruktur yang wajib ada dan perlu ditingkatkan eksistensinya seperti PKD (Poliklinik Kesehatan Desa), Polindes (Pos Bersalin Desa), Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan berbagai macam infrastrutur sederhana lainnnya. Proses penapisan penyakit dan screening sederhana untuk dapat menunjang program yang sudah ada menjadi sangat efektif jika melibatkan peran serta masyarakat secara global. Hal yang sederhana namun substansi kegiatan menuju pada sasaran yang ada.

Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan sendiri merupakan hal yang sangat mahal. Akan tetapi hal ini bisa menjadi murah jika masyarakat memahami makna sehat itu sendiri. Konsep yang sederhana dimulai dari modifikasi gaya hidup dan perilaku, kebersihan lingkungan, akses pelayanan kesehatan dan sebagainya. Oleh karena itu peran desa siaga sebagai salah satu aspek kesejahteraan socsal rakyat perlu di masifkan implementasinya dari akar rumput sampai tataran elit. Dengan hal itu, wujud kesejahteraan social bukan hanya angan tapi menjadi nyata adanya.

Momentum pilpres 2009 kita gunakan sebagai momentum awal menuju kesehatan bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Dengan semangat kesehatan bangsa, sudah saatnya konsep kesehatan kerakyatan menjadi tema sentral pada pilpres 2009. Karena tema sentral yang dianut oleh para capres adalah seputar ekonomi kerakyatan. Indonesia perlu terus dan terus memperbaiki diri menuju kedewasaan dan kemandirian dalam berfikir dan bertindak untuk menuju kesejahteraan dan kecerdasan bangsa. Sudah saatnya adagium yang berbunyi health is not everything but without health everything is nothing menjadi aktualiasi diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sumber : www.rachman-soleman.blogspot.com


Resensi Buku : 100 tahun Muhammad Natsir

Rangkaian peringatan 100 tahun Mohammad Natsir telah usai, dipuncaki dengan peluncuran buku dan situs internet tokoh ini pada Rabu (17/9) petang lalu.

Salah satu buku itu adalah 100 Tahun Mohammad Natsir-Berdamai dengan Sejarah yang berisi 38 tulisan kenangan dari berbagai tokoh. Sementara buku lainnya adalah Capita Selecta 3 yang berisi tulisan dan pidato Natsir dari tahun 1956 dan 1960. (Catatan: Capita Selecta 1 memuat tulisan Natsir dalam rentang 1936-1941, berisi pemikiran tentang kebudayaan, filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan, dan politik, sedangkan Capita Selecta 2 memuat tulisan, pidato, dan wawancara Natsir dari tahun 1950-1955. Di dalam buku kedua inilah terdapat pidato monumental Natsir yang dikenal dengan sebutan ”Mosi Integral Natsir”.)

Dalam acara yang dihadiri oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan sekitar 400 undangan, sosok Natsir seolah kembali ke dalam ruangan, dengan kenangan akan ketokohannya, kejujurannya, dan keteguhannya terhadap prinsip.

Natsir memang tokoh yang pantas dikagumi. Dari berbagai sisi yang bisa digali dari tokoh ini, dari buku Berdamai dengan Sejarah ingin dicuplikkan dua kenangan yang menggugah.

Penampilan di AMS

Setelah menyelesaikan pendidikan MULO (setingkat SMP) di Padang, Natsir melanjutkan ke sekolah menengah atas di AMS (Algemene Middelbar School) A-II Westers Klassieke Afdeling di Bandung. Di sini pula, menurut catatan Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir belajar dari 1926- 1929. Di sekolah ini, selain harus belajar empat bahasa—Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman— siswa juga harus mempelajari bahasa Latin sehingga pelajar sekolah itu disebut juga Latinist.

Natsir, seperti ditulis oleh Taufiq Ismail, adalah pembaca buku yang sangat tekun, dengan disiplin luar biasa, menyelesaikan satu buku dalam seminggu. Toh, masih ada seorang guru Belanda yang mengejeknya karena dalam percakapan Natsir kurang lancar. Natsir jengkel dan belajar mati-matian sampai akhirnya ia ingin membuktikan diri dalam satu lomba deklamasi. Yang ia baca adalah syair Multatuli berjudul De Banjir. Ia mendapat tepuk tangan riuh dan meraih juara pertama. Guru Belanda tadi juga ikut tepuk tangan meskipun dengan lambat dan enggan.

Di kelas V (setara dengan kelas II SMA kini), Natsir bertemu lagi dengan guru Belanda tadi yang kini mengajar Ilmu Bumi Ekonomi. Guru yang sinis terhadap gerakan politik kebangsaan ini menantang murid, siapa yang berani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Ternyata yang berani angkat tangan hanya Natsir, yang lalu diberi waktu dua minggu untuk menuliskannya.

Natsir lalu ke perpustakaan Gedung Sate, mencari notulen perdebatan di Volksraad, menggali majalah kaum pergerakan, dan mengumpulkan statistik. Setelah jadi makalah, Natsir membacakannya di kelas selama 40 menit. Natsir membuktikan, rakyat tidak mendapatkan keuntungan dari pabrik gula, dan yang untung adalah kapitalis Belanda serta para bupati yang menekan rakyat untuk menyewakan tanah mereka dengan harga rendah, menjadikan mereka buruh dengan upah rendah, dan membuat mereka terjerat utang. Kelas sunyi senyap saat Natsir remaja membacakan makalahnya. Wajah guru Belanda tadi pun suram, tak menyangka ada murid kelas V AMS bisa membuat analisa semacam itu dalam bahasa Belanda yang rapi.

Mosi integral

Disinggung oleh berbagai penulis di buku Berdamai dengan Sejarah, mosi integral Natsir dikemas khusus dalam buku kecil yang dibagikan di sela-sela acara petang itu. Dalam buku kecil Mosi Integral Natsir: Dari RIS ke NKRI", Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Natsir, Laode M Kamaluddin, memberikan catatan ringkas atas mosi ini.

Mosi integral dengan tokoh utamanya Natsir, ia nilai sebagai prestasi gemilang dan monumental yang pernah dicapai oleh parlemen Indonesia. Natsir, tulis Kamaluddin, mampu menyatukan kembali Indonesia yang terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal buatan Van Mook menjadi NKRI yang kita kenal sekarang ini.

Mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949. Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak dimasukkan ke dalam RIS.

Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir. Selain itu, kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya—maksudnya RI—asal jangan disuruh bubar sendiri.

Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah- daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata ”Mosi Integral” dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

Kisah lain

Tentu belum cukup mengungkapkan sumbangan Natsir hanya melalui uraian di atas. Masih bisa diceritakan kaitan Natsir dengan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi antara 1956 dan 1958. Staf Ahli Mensesneg Dadan Wildan Annas menyebut ”keterlibatan” dalam peristiwa itulah yang masih mengganjal perjalanan sejarah Natsir untuk diakui sebagai pahlawan nasional.

Namun, di luar itu, tokoh seperti Natsir telah memberikan sumbangan berharga kepada perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Tokoh itu, menurut Rosihan Anwar, mempunyai sifat tabiat sendiri dengan keunikannya. Namun, ia adalah putra Indonesia yang patut kita kenang sepanjang masa dan kita hormati dengan segala khidmat.

Oleh : Ninok Leksono

Sumber :www.cetak.kompas.com

Neoliberalisme

Oleh : Revrisond Baswir

NEOLIBERALISME. Tiba-tiba saja mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya adalah munculnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang akan datang. Menurut para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono seorang ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu ia sangat berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia.

Tulisan ini tidak bermaksud mengupas Boediono atau paham ekonomi yang dianutnya. Tujuan tulisan ini adalah untuk menguraikan pengertian, asal mula, dan perkembangan neoliberalisme secara singkat. Saya berharap, dengan memahami neoliberalisme secara benar, silang pendapat yang berkaitan dengan paham ekonomi ini dapat dihindarkan dari debat kusir. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas mengimani neoliberalisme, tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa dirinya bukan seorang neoliberalis.

Sesuai dengan namannya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.

Sebagaimana diketahui, dalam paham ekonomi pasar liberal, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama sekali. Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar pada tahun 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi besar 1930-an tidak hanya ditandai oleh terjadinya kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya Perang Dunia II.

Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan Simon.

Sebagaimana dikemas dalam paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961). Tetapi dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS) pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.

Sebagaimana diketahui, dalam konsep negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan: ”Selama masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara dalam perekonomian tetap dibenarkan.”

Namun kedigdayaan keynesianisme tidak bertahan lama. Pada awal 1970-an, menyusul terpilihnya Reagen sebagai presiden AS dan Tatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Di Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.

Selanjutnya, terkait dengan negara-negara sedang berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.

Menyimak uraian tersebut, secara singkat dapat disimpulkan, sebagai bentuk baru liberalisme, neoliberalisme pada dasarnya tetap sangat memuliakan mekanisme pasar. Campur tangan negara, walau pun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar. Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme. Wallahua’lambishawab.

Lapar Karena Bodoh, Bodoh Karena Lapar

Oleh : dr.Sunarto, M.Kes

Kalimat diatas tengah menjadi anekdot di masyarakat terkait semakin mahalnya biaya pendidikan dan isu kasus gizi buruk yang semakin meluas. Dapat dibayangkan, bagi penduduk yang cukup mampu saja mengeluh, harus mengeluarkan rata-rata lima juta rupiah untuk bisa bersekolah ke jenjang SMA negeri. Kini terpaksa menjual motor atau sapi ternaknya untuk memenuhi pungutan sekolah. Secara rasional, bagi keluarga yang berpendapatan sekitar standar UMR misalnya tujuh ratus ribu rupiah perbulan, sungguh agak ngeri dibayangkan. Di awal Penerimaan Siswa Baru (PSB) harus membayar sebesar dua juta maka keluarga ini terpaksa puasa dua bulan setengah. Pengeluaran biaya pendidikan yang terus meninggi harus diiringi pengurangan mengkonsumsi gizi yang cukup. Peluang untuk cerdas dan produktif juga harus dikorbankan.

Akses memperoleh pendidikan dihambat karena biaya sekolah dasar-menengah yang semakin tak terjangkau. Sementara animo masyarakat biasa semakin mengecil untuk bisa belajar ke perguruan tinggi favorit di tanah air. Mereka hanya cukup mimpi untuk mengenyam ke pendidikan tinggi seperti UI, UGM, ITB, IPB, UNAIR, dsb. Opini publik telah terlanjur mendewakan pernyataan bahwa pendidikan bermutu membutuhkan biaya mahal. Keadaan ini telah meruntuhkan keberanian mental masyarakat miskin untuk memperoleh hak yang sama. Orang miskin semakin sulit untuk menjadi pandai dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pendidikan dan kesehatan merupakan hak asasi setiap warga negara. Pelayanan dasar seharusnya mendapat perhatian utama dari negara. Komitmen ini awalnya tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang kita miliki. Anggaran minimal 20% untuk bidang pendidikan sudah tak berarti setelah Keputusan Mahkamah Konstitusi, karena aspek gaji tenaga pendidikan termasuk didalamnya. Sulit rasanya implementasi alokasi anggaran dapat mengurangi beban warga negara dalam aksesabilitas pendidikan. Sementara Keputusan MPR RI untuk mengejar anggaran minimal 15 % untuk bidang kesehatan masih dalam batas keinginan. Yang ditemukan adalah kenyataan sebaliknya..

Kini, sistem penyelenggaraan bidang pendidikan dan kesehatan terimbas oleh pengaruh global yang cenderung berorientasi ekonomis dan kapitalistis. Problem biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin tinggi, sering dihubungkan dengan mutu dan kemampuan membayar masyarakat. Pendidikan dan kesehatan semakin menjadi komoditi oleh para penyelenggara pelayanan. Ada kecenderungan pengingkaran terhadap filosofi awal penyelenggaraan kedua pelayanan dasar, yang seharusnya bernilai sosial. Kini istilah Jawa ”ana rega ana rupa” (ada harga ada rupa) sudah masuk dalam wacana dunia pelayanan pendidikan dan kesehatan. Semboyan ini berbau individualis, karena tidak memberikan masyarakat kurang mampu mendapatkan akses pelayanan yang sama. Asas keadilan dan pemerataan hanya dimaknai sepihak oleh penyedia pelayanan.

Jika masyarakat semakin sulit mengakses fasilitas pendidikan artinya mereka mengalami “pembodohan”. Kecenderungan pengurangan peran pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan, masyarakat harus menanggung beban anggaran sekolah dan PTN. Ini menjadi tidak rasional ketika masyarakat sedang berjuang menghadapi kenaikan harga sembako, disisi lain berpikir membayar sekolah anaknya yang terasa mahal. Otonomi sekolah dipraktekkan sebagai kebebasan pengelolaan anggaran, yang berarti penarikan pungutan biaya sekolah kepada masyarakat secara bebas pula. Kecenderungan ini menjadi semakin tidak terkendali, masing-masing sekolah mempunyai target dan mimpi yang berbeda. Belum ada rambu-rambu standarisasi pengelolaam keuangan yang jelas. Target sekolah yang berlebihan, sehingga membebani orang tua siswa.

Komersialisasi pelayanan kesehatan tengah berkembang sedemikian hebat seakan menjadi kewajaran. Kecenderungan Pemberi Pelayanan Kesehatan berorintasi keuntungan. Beberapa rumah sakit secara terang-terangan berbentuk PT. Di sisi lain masih terjadi problem asimetri informasi-komunikasi antara penyedia layanan dengan pasien. Penyedia layanan pada posisi pengendali pada “transakasi” jual beli pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan sangat menentukan demand (permintaan), karena pasien kurang mengetahui wilayah profesi kesehatan. Pada kenyataannya sering didapatkan biaya pengobatan yang berlebihan dan semakin mahal. Akibatnya setelah melakukan pengobatan di layanan kesehatan, keluarga pasien semakin menurun kemampuan ekonominya. Mestinya orang sakit pergi ke penyedia layanan kesehatan agar sehat dan semakin produktif. Penyelenggaaraan layanan kesehatan akan menambah beban baru, orang miskin menjadi bertambah karena biaya yang terlampau tinggi. Secara keseluruhan pelaksanaan penjaminan kesehatan bagi penduduk miskin belum terasa efektif.

Akibat problem kesulitan mengakses kedua pelayanan tsb, kita sulit memutus lingkaran setan yang seakan tanpa ujung. Dampak pada titik terbawah masyarakat mengalami kebodohan dan kelaparan yang tidak berkesudahan. Kasus gizi buruk memang tidak semata-mata karena kemiskinan, bisa karena kasus infeksi atau penyakit lain yang menyertainya. Namun jika diruntut tentu berakhir pada perilaku, sikap dan pengetahuan yang kurang sesuai. Keadaan ini merupakan ekses dari layanan pendidikan yang sulit dijangkau. Pendidikan masih menjadi satu-satunya peluang bagi masyarakat miskin untuk meraih mobilitas vertikal.

Situasi ekonomi liberal seperti sekarang, sulit bagi mereka untuk mampu bersaing dalam perdagangan maupun menekuni pertanian. Faktor permodalan, ketrampilan maupun pengetahuan yang tidak cukup, menjadi kendala keluar dari persoalan hidup sehari-hari. Disisi lain, kenaikan harga sembako yang terus melambung semakin mengurangi kemampuan membeli. Intak gizi yang cukup membutuhkan biaya. Kesehatan merupakan modal seseorang untuk tetap survive dan produktif. Gizi buruk mengancam kualitas manusia Indonesia di masa mendatang. Pemerintah harus legawa untuk mengakui kelemahan yang ada, tidak perlu defensif dan apologi. Kita semua melihat, bagaimana kinerja pemerintahan selama ini. Problem kemiskinan, gizi buruk, kebodohan sesungguhnya telah berjalan lama. Kita tidak perlu menyalahkan dan meratapi keadaan. Adalah keharusan bagi negara untuk memenuhi hak warga negara agar tetap terpeliharan kesehatannya dan mengenyam pendidikan secara memadai. Jalan yang harus ditempuh pemerintah sekarang adalah segera memenuhi tuntutan rakyat dan mengevaluasi kembali segala program pengentasan kemiskinan. Alokasi anggaran pemerintah yang melebihi 60 trilyun pertahun merupakan jumlah yang luar biasa besarnya. Mengapa upaya pengentasan kemiskinan dari waktu ke waktu belum dirasakan secara nyata dan signifikan oleh masyarakat. Mampukah kabinet SBY-JK menunjukkan perubahan kinerjanya agar rakyat tetap mau memilih kembali pada Pemilu 2009 ? Wallahu’alam.

Pengikut