Minggu, 28 Juni 2009

Visi Ekonomi para Capres


M. Ikhsan Modjo

Direktur INDEF


Debat calon presiden (capres) pada kamis malam terasa agak berbeda dari dua debat sebelumnya. Suasana yang tercipta terasa lebih cair. Para capres pun berusaha untuk saling berbeda, meski tidak secara konfrontatif. Debat kali ini bukan hanya berkutat pada topik kemiskinan dan pengangguran yang diberikan oleh KPU. Akan tetapi juga bersayap pada persoalan-persoalan ekonomi lain. Kemiskinan dan pengangguran sendiri merupakan dua hal yang selama bertahun-tahun telah menjadi isu ekonomi dan politik di Indonesia. Tentunya, mutlak bagi seorang kandidat capres untuk memiliki kiat-kiat khusus untuk mengatasi kedua permasalahan ini.


Secara umum, ketiga capres agaknya sepakat untuk memberikan prioritas lebih pada sektor pertanian ke depan. Hal ini tentu saja adalah tepat. Sekitar 65 persen keluarga miskin hidup di perdesaan, yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian. Demikian pula tidak kurang dari 40 persen pekerja berada di sektor pertanian. Sehingga pengatasan masalah kemiskinan dan pengangguran tentu saja harus memprioritaskan sektor ini.Dalam hal strategi, dua dari tiga capres --Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK)-- juga sepakat untuk menjalankan strategi yang bertumpu pada dua hal sekaligus: pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan penduduk miskin. Megawati Soekarnoputri (Mega), dari jawaban yang diberikan, lebih menekankan pada strategi tidak adanya upaya penggusuran paksa (Koran Tempo 26 Juni 2009, hal. A2). Strategi SBY dan JK juga adalah benar. Sebab dari kajian empiris tidak pernah terjadi pengurangan angka kemiskinan dalam perekonomian yang tidak tumbuh. Pengurangan kemiskinan hanya dapat terjadi bila terjadi pertumbuhan. Tetapi, pertumbuhan tidaklah cukup. Kue pertumbuhan kerap hanya dinikmati oleh segelintir kalangan, sehingga diperlukan intervensi langsung melalui pemberdayaan. Namun, SBY dan JK berbeda dalam target tingkat pertumbuhan dan langkah pemberdayaan masyarakat yang akan ditempuh. SBY mematok angka rata-rata 7 persen, sementara JK memasang angka rata-rata 8 persen. Dalam hal pemberdayaan, SBY akan terus melanjutkan berbagai program-program yang tergabung dalam program nasional pemberdayaan mandiri (PNPM mandiri) dan pemberdayaan usaha mikro (UMK). Sementara JK, selain akan meneruskan berbagai program ini, juga memberi penekanan lebih pada pemberdayaan usaha usaha kecil menengah dan mikro (UMKM) bukan hanya mikro.


Penekanan ini terlihat dari janji JK untuk melakukan sebuah program tambahan berupa Kredit MAMPU, yang dalam keterangannya merupakan kredit langsung tanpa jaminan sebesar Rp 3 sampai dengan Rp 20 juta bagi pengusaha UMKM, tanpa melalui mekanisme perbankan. Tawaran ini saya kira adalah tepat. Sebab saat ini terdapat tidak kurang dari 50 juta unit usaha UMKM di Indonesia, yang menampung sekitar 100 juta lebih angkatan kerja. Salah satu kendala berusaha mereka adalah akses pada modal. Saat ini meski terdapat banyak tawaran dari perbankan, akan tetapi terdapat syarat-syarat formal yang kerap sulit dipenuhi oleh pengusaha UMKM. Bantuan permodalan memungkinkan melakukan ekspansi usaha, dimana dengan ekspansi usaha ini dapat membuka lapangan pekerja lebih banyak. Bila saja 10 persen dari unit usaha UMKM menambah satu pekerja dalam satu tahun, maka akan tercipta lima juta lapangan tenaga kerja baru yang lebih dari cukup untuk mengatasi persoalan pengangguran dalam lima tahun ke depan.


Perbedaan krusial antar para capres juga terlihat dalam beberapa hal, antara lain dalam persoalan utang, undang undang (UU) investasi, UU ketenagakerjaan, dan tenaga kerja terdidik. Dalam hal utang, Mega dengan tegas mengatakan akan memberhentikan menambahan utang negara. Satu hal yang patut dipuji, mengingat utang dewasa ini lebih menjadi momok ketimbang kebutuhan. Sumber-sumber yang ada dari dalam negeri baik berupa pendapatan pajak atau pendapatan pemerintah dalam bentuk lain sesungguhnya masih mencukupi bila dikelola secara optimal. Sementara dengan berutang, sama saja bangsa mengadaikan sebagian kedaulatannya kepada negara lain. Sebab hampir semua utang diberikan dengan kondisi dan syarat tertentu, meski secara tidak eksplisit dicantumkan.Dalam hal utang, JK mengatakan akan tetap melakukan bila dipandang perlu, namun harus dibatasi tidak lebih dari 1,3 persen dari pengeluaran. Sementara SBY dengan penuh percaya diri mengatakan akan tetap melanjutkan utang, karena menganggap penambahan utang adalah hal biasa dan dimungkinkan bila pada saat yang sama terjadi pertumbuhan.


Pada UU Investasi, lagi-lagi Mega berbeda dengan SBY dan JK. Mega dengan tegas mengatakan akan merevisi UU ini, karena menganggapnya terlalu liberal. Sementara, SBY dan JK akan tetap melanjutkan, akan tetapi menyempurnakannya dengan berbagai peraturan tambahan. Pada konteks ini, SBY dan JK adalah benar. Sebab liberal atau tidaknya UU ini sangat tergantung pada aturan pelengkapnya berupa peraturan pemerintah (PP) tentang daftar negatif investasi, yang biasanya diperbaharui setiap tahun.Dalam hal UU investasi JK juga menekankan pentingnya revisi UU tenaga kerja, yang membawa kita pada titik perbedaan yang lain. Di sini , JK dan Mega memiliki pandangan yang sama tentang perlunya revisi UU ketenakerjaan. Sementara, SBY memandang tidak perlu ada perubahan. Akan tetapi cukup mengoptimalkan mekanisme bipartit yang telah ada saat ini. JK dan Mega adalah tepat pada masalah ini. Dalam bahasa JK, UU tenaga kerja saat ini tidak disukai baik oleh buruh maupun pengusaha. Para buruh tidak menyukainya karena longgarnya pengaturan tentang outsourcing di dalamnya.


Sementara pengusaha memberatkan UU ini karena terdapat aturan tentang pesangon yang sangat memberatkan pekerja ketika perlu dilakukan satu pemutusan hubungan kerja pekerja tetap. Jalan keluar yang masuk akal tentu saja adalah merevisi UU ini dengan melibatkan kelompok buruh dan pengusaha. Revisi nantinya haruslah menetapkan aturan yang lebih ketat berupa perlindungan dan hak-hak lebih pada buruh outsourcing. Pada saat yang sama, revisi juga harus mengurangi beban berlebihan yang dipundakkan pada pengusaha dalam hal pesangon. Tanpa adanya revisi pada kedua poin ini, ketidakpuasan kedua belah pihak selama ini akan terus berlanjut, sehingga dampak buruknya akan terus dirasakan pada perekonomian.


Salah satu dampak buruk yang juga merupakan titik perbedaan lain dari para capres adalah dalam hal pengangguran terdidik. Persamaannya hanya pada pentingnya pemberian ketrampian wirausaha. Mega menambahkan perlunya insentif lebih tinggi, sementara SBY dan JK menginginkan adanya perbanyakan pendidikan kejuruan dan pembukaan balai ketrampilan.Baik pendidikan wirausaha atau peningkatan ketrampilan tidak cukup mengatasi masalah tenaga kerja terdidik, yang dewasa ini sudah mencapai hampir satu juta orang. Peningkatan pengangguran terdidik salah satunya disebabkan beratnya aturan pesangon dan ketentuan upah minimum pada UU ketenagakerjaan. Dua hal ini menyebabkan dunia usaha lebih menyukai merekrut angkatan kerja secara kontrak ketimbang tetap. Ketentuan ini juga merugikan pekerja-pekerja yang minim pengalaman, seperti misalnya tenaga kerja yang baru saja lulus akademi atau kuliah (SMERU, 2001). Sehingga selain pendidikan kewirausahaan dan ketrampilan juga diperlukan revisi atas aturan ini, sebagaimana yang diyakini JK dan Mega.


Begitulah persamaan dan perbedaan visi dan program dari ketiga capres. Substansi penjabaran dari masing-masing kandidat setidaknya telah memberikan gambaran yang lebih jelas tentang strategi dan arah kebijakan mereka. Selebihnya, rakyatlah yang menentukan pilihannya.


Tidak ada komentar:

Pengikut