Selasa, 23 Juni 2009

Resensi Buku : 100 tahun Muhammad Natsir

Rangkaian peringatan 100 tahun Mohammad Natsir telah usai, dipuncaki dengan peluncuran buku dan situs internet tokoh ini pada Rabu (17/9) petang lalu.

Salah satu buku itu adalah 100 Tahun Mohammad Natsir-Berdamai dengan Sejarah yang berisi 38 tulisan kenangan dari berbagai tokoh. Sementara buku lainnya adalah Capita Selecta 3 yang berisi tulisan dan pidato Natsir dari tahun 1956 dan 1960. (Catatan: Capita Selecta 1 memuat tulisan Natsir dalam rentang 1936-1941, berisi pemikiran tentang kebudayaan, filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan, dan politik, sedangkan Capita Selecta 2 memuat tulisan, pidato, dan wawancara Natsir dari tahun 1950-1955. Di dalam buku kedua inilah terdapat pidato monumental Natsir yang dikenal dengan sebutan ”Mosi Integral Natsir”.)

Dalam acara yang dihadiri oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan sekitar 400 undangan, sosok Natsir seolah kembali ke dalam ruangan, dengan kenangan akan ketokohannya, kejujurannya, dan keteguhannya terhadap prinsip.

Natsir memang tokoh yang pantas dikagumi. Dari berbagai sisi yang bisa digali dari tokoh ini, dari buku Berdamai dengan Sejarah ingin dicuplikkan dua kenangan yang menggugah.

Penampilan di AMS

Setelah menyelesaikan pendidikan MULO (setingkat SMP) di Padang, Natsir melanjutkan ke sekolah menengah atas di AMS (Algemene Middelbar School) A-II Westers Klassieke Afdeling di Bandung. Di sini pula, menurut catatan Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir belajar dari 1926- 1929. Di sekolah ini, selain harus belajar empat bahasa—Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman— siswa juga harus mempelajari bahasa Latin sehingga pelajar sekolah itu disebut juga Latinist.

Natsir, seperti ditulis oleh Taufiq Ismail, adalah pembaca buku yang sangat tekun, dengan disiplin luar biasa, menyelesaikan satu buku dalam seminggu. Toh, masih ada seorang guru Belanda yang mengejeknya karena dalam percakapan Natsir kurang lancar. Natsir jengkel dan belajar mati-matian sampai akhirnya ia ingin membuktikan diri dalam satu lomba deklamasi. Yang ia baca adalah syair Multatuli berjudul De Banjir. Ia mendapat tepuk tangan riuh dan meraih juara pertama. Guru Belanda tadi juga ikut tepuk tangan meskipun dengan lambat dan enggan.

Di kelas V (setara dengan kelas II SMA kini), Natsir bertemu lagi dengan guru Belanda tadi yang kini mengajar Ilmu Bumi Ekonomi. Guru yang sinis terhadap gerakan politik kebangsaan ini menantang murid, siapa yang berani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Ternyata yang berani angkat tangan hanya Natsir, yang lalu diberi waktu dua minggu untuk menuliskannya.

Natsir lalu ke perpustakaan Gedung Sate, mencari notulen perdebatan di Volksraad, menggali majalah kaum pergerakan, dan mengumpulkan statistik. Setelah jadi makalah, Natsir membacakannya di kelas selama 40 menit. Natsir membuktikan, rakyat tidak mendapatkan keuntungan dari pabrik gula, dan yang untung adalah kapitalis Belanda serta para bupati yang menekan rakyat untuk menyewakan tanah mereka dengan harga rendah, menjadikan mereka buruh dengan upah rendah, dan membuat mereka terjerat utang. Kelas sunyi senyap saat Natsir remaja membacakan makalahnya. Wajah guru Belanda tadi pun suram, tak menyangka ada murid kelas V AMS bisa membuat analisa semacam itu dalam bahasa Belanda yang rapi.

Mosi integral

Disinggung oleh berbagai penulis di buku Berdamai dengan Sejarah, mosi integral Natsir dikemas khusus dalam buku kecil yang dibagikan di sela-sela acara petang itu. Dalam buku kecil Mosi Integral Natsir: Dari RIS ke NKRI", Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Natsir, Laode M Kamaluddin, memberikan catatan ringkas atas mosi ini.

Mosi integral dengan tokoh utamanya Natsir, ia nilai sebagai prestasi gemilang dan monumental yang pernah dicapai oleh parlemen Indonesia. Natsir, tulis Kamaluddin, mampu menyatukan kembali Indonesia yang terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal buatan Van Mook menjadi NKRI yang kita kenal sekarang ini.

Mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949. Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak dimasukkan ke dalam RIS.

Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir. Selain itu, kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya—maksudnya RI—asal jangan disuruh bubar sendiri.

Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah- daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata ”Mosi Integral” dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

Kisah lain

Tentu belum cukup mengungkapkan sumbangan Natsir hanya melalui uraian di atas. Masih bisa diceritakan kaitan Natsir dengan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi antara 1956 dan 1958. Staf Ahli Mensesneg Dadan Wildan Annas menyebut ”keterlibatan” dalam peristiwa itulah yang masih mengganjal perjalanan sejarah Natsir untuk diakui sebagai pahlawan nasional.

Namun, di luar itu, tokoh seperti Natsir telah memberikan sumbangan berharga kepada perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Tokoh itu, menurut Rosihan Anwar, mempunyai sifat tabiat sendiri dengan keunikannya. Namun, ia adalah putra Indonesia yang patut kita kenang sepanjang masa dan kita hormati dengan segala khidmat.

Oleh : Ninok Leksono

Sumber :www.cetak.kompas.com

Tidak ada komentar:

Pengikut